BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pemimpin adalah
seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan bertindak sesuai dengan
kedudukannya tersebut. Pemimpin juga seorang ahli dalam organisasi / masyarakat
yang diharapkan menggunakan pengaruh dalam melaksana dan mencapai visi dan misi
institusi / lembaga yang dipimpinnya Sedangkan
kepemimpinan adalah suatu peranan dan proses mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan
dalam Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada amar makruf nahi mungkar,
menyeru berbuat kebaikan dan melarang manusia berbuat keburukan. Kepemimpinan
Islam adalah perwujudan dari keimanan dan amal saleh. Oleh karena itu seorang
pemimpin yang mementingkan diri, kelompok, keluarga, kedudukannya dan hanya
bertujuan untuk kebendaan, penumpukan harta, bukanlah kepemimpinan Islam yang
sebenarnya meskipun si pemimpin tersebut beragama Islam. Sebagaimana dipahami,
bahwa tidak semua orang layak, atau
berhak memimpin. Hakikatnya kepimpinan dalam islam adalah merealisasikan khilafah di muka bumi,
demi mewujudkan kebaikan dan prosses pembersihan sesebuah organisasi.
Sebagaimana firman Allah swt :
فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لاَ يَجِدُواْ فِى أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ
تَسْلِيماً
Artinya,
“maka demi tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima sepenuhnya.”
( Surah an-Nisaa’ ayat 65.)
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan
masalah pada makalah ditunjukan untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas
pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, sebagai berikut :
- Pemimpin Didalam Islam
- Ciri-Ciri Pemimpin Islam
- Kepemimpinan Dalam Al-Qur’an Dan Al-Hadist
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan dalam makalah ditujukan untuk mencari tujuan dari dibahasnya
pembahasan atas rumusan masalah dalam makalah ini. Adapun tujuan penulisan
makalah, sebagai berikut :
1. Menjelaskan tentang pemimpin didalam
islam.
2. Menyebutkan ciri-ciri pemimpin islam.
3. Menerangkan kepemimpinan dalam
Al-Qur’an dan Al-Hadist.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
PEMIMPIN DALAM ISLAM
Pemimpin
adalah seseorang yang diberi kedudukan tertentu dan bertindak sesuai dengan
kedudukannya tersebut. Pemimpin juga seorang ahli dalam organisasi / masyarakat
yang diharapkan menggunakan pengaruh dalam melaksana dan mencapai visi dan misi
institusi / lembaga yang dipimpinnya Sedangkan
kepemimpinan adalah suatu peranan dan proses mempengaruhi orang lain.
Kepemimpinan
dalam Islam merupakan usaha menyeru manusia kepada amar makruf nahi mungkar,
menyeru berbuat kebaikan dan melarang manusia berbuat keburukan. Kepemimpinan
Islam adalah perwujudan dari keimanan dan amal saleh. Oleh karena itu seorang
pemimpin yang mementingkan diri, kelompok, keluarga, kedudukannya dan hanya
bertujuan untuk kebendaan, penumpukan harta, bukanlah kepemimpinan Islam yang
sebenarnya meskipun si pemimpin tersebut beragama Islam. Sebagaimana dipahami,
bahwa tidak semua orang layak, atau
berhak memimpin. Hakikatnya kepimpinan dalam islam adalah merealisasikan khilafah di muka bumi,
demi mewujudkan kebaikan dan prosses pembersihan sesebuah organisasi. Sebagaimana
firman Allah swt :
فَلاَ
وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ
لاَ يَجِدُواْ فِى أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ
تَسْلِيماً
Artinya,
“maka demi tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka
menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka
tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan,
dan mereka menerima sepenuhnya.”
(
Surah an-Nisaa’ ayat 65.)
Di dalam
Islam, pemimpin kadangkala disebut imam juga khalifah. Dalam shalat berjamaah,
imam berarti orang yang didepan. Secara harfiyah, imam berasal dari kata amma,
ya’ummu yang artinya menuju, menumpu dan meneladani. Ini berarti seorang imam
atau pemimpin harus selalu didepan guna memberi keteladanan atau kepeloporan
dalam segala bentuk kebaikan. Disamping itu, pemimpin disebut juga dengan
khalifah yang berasal dari kata khalafa yang berarti di belakang, karenanya
khalifah dinyatakan sebagai pengganti karena memang pengganti itu dibelakang
atau datang sesudah yang digantikan. Kalau pemimpin itu disebut khalifah, itu
artinya ia harus bisa berada di belakang untuk menjadi pendorong diri dan orang
yang dipimpinnya untuk maju dalam menjalani kehidupan yang baik dan benar
sekaligus mengikuti kehendak dan arah yang dituju oleh orang yang dipimpinnya
kearah kebenaran.
Kepemimpinan
Rasulullah s.a.w. merupakan contoh terbaik dalam menghayati nilai-nilai
kepemimpinan . Baginda telah meletakkan kepentingan umat Islam diatas segala kepentingan diri dan keluarga. Sifat-sifat
kepemimpinan yang dihayati dan ditonjolkan baginda telah menjadi rujukan para
pengikut beliau di sepanjang zaman dan setiap generasi. Rasulullah SAW telah
memberikan gambaran yang sangat rinci bagaimana beliau bersikap sebagai seorang
pemimpin; tidak pamer kemewahan dan tidak pula angkuh dengan jabatan yang
beliau sandang. Sebaliknya Rasulullah SAW senantiasa menampilkan sikap
keramahannya kepada umatnya, menyebarkan salam, menyantuni yang kecil,
menghormati yang tua, peduli pada sesama dan selalu tunduk dan takut kepada
Allah SWT. Dzat yang telah memberikan tugas dan tanggung jawab ke pundaknya.
Meskipun Beliau telah wafat ribuan tahun yang lalu, tetapi pengaruhnya tetap
abadi hingga sekarang, tidak lapuk dimakan zaman dan tidak lekang dimakan usia.
Kepemimpinan adalah pengaruh. Makin kuat
kepemimpinan seseorang, akan makin kuat pula pengaruhnya. Begitu pula dengan
Rasulullah. Lalu, pemimpin seperti apakah Rasulullah saw. sehingga pengaruhnya
bisa menembus relung hati kita? Jawaban dari semua itu ternyata
1.
Sebelum memimpin orang
lain, Rasulullah saw. selalu mengawali dengan memimpin dirinya sendiri. Beliau
pimpin matanya sehingga tidak melihat apa pun yang akan membusukkan hatinya.
Rasulullah memimpin tutur katanya sehingga tidak pernah berbicara kecuali
kata-kata benar, indah, dan padat akan makna. Rasulullah pun memimpin nafsunya,
keinginannya, dan memimpin keluarganya dengan cara terbaik sehingga Beliau
mampu memimpin umat dengan cara dan hasil yang terbaik pula.
2.
Rasulullah
saw. memperlihatkan kepemimpinannya tidak dengan banyak menyuruh atau melarang.
Beliau memimpin dengan suri teladan yang baik. Pantaslah kalau keteladannya
diabadikan dalam Alquran, “Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi
orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” (Q.S. Alahzab: 21). Dalam kehidupannya,
Rasulullah saw. senantiasa melakukan terlebih dahulu apa yang ia perintahkan
kepada orang lain. Keteladanan ini sangat penting karena sehebat apa pun yang
kita katakan tidak akan berharga kecuali kalau perbuatan kita seimbang dengan
kata-kata. Rasulullah tidak menyuruh orang lain sebelum menyuruh dirinya
sendiri. Rasulullah tidak melarang sebelum melarang dirinya. Kata dan
perbuatannya amat serasi sehingga setiap kata-kata diyakini kebenarannya.
Efeknya, dakwah Beliau punya kekuatan ruhiah yang sangat dahsyat. Dalam Alquran
Allah Azza wa Jalla berfirman, “Amat
besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tiada kamu
kerjakan” (QS Ashshaf: 3).
3.
Kepemimpinan Rasulullah
tidak hanya menggunakan akal dan fisik, tetapi Beliau memimpin dengan kalbunya.
Hati tidak akan pernah bisa disentuh kecuali dengan hati lagi. Dengan demikian,
yang paling dibutuhkan oleh manusia adalah hati nurani, karena itulah yang
tidak dimiliki oleh makhluk lain. Rasulullah menabur cinta kepada sahabatnya
sehingga setiap orang bisa merasakan tatapannya dengan penuh kasih sayang,
tutur katanya yang rahmatan lil alaamiin, dan perilakunya yang amat menawan.
Seorang pemimpin yang hatinya hidup akan selalu merindukan kebaikan,
keselamatan, kebahagiaan bagi yang dipimpinnya. Sabda Rasulullah saw.
“Sebaik-baik pemimpin kalian ialah yang kalian mencintainya dan dia mencintai
kalian. Dia mendoakan kebaikan kalian dan kalian mendoakannya kebaikan.
Sejelek-jelek pemimpin kalian ialah yang kalian membencinya dan ia membenci
kalian. Kalian mengutuknya dan ia mengutuk kalian.” Pemimpin yang baik adalah
pemimpin yang bisa berkhidmat dengan tulus dan menafkahkan jiwa raganya untuk
kemaslahatan umat. Ia berkorban dengan mudah dan ringan karena merasa itulah
kehormatan menjadi pemimpin, bukan mengorbankan orang lain.
Pemimpin memiliki kedudukan yang sangat
penting, karenanya siapa saja yang menjadi pemimpin tidak boleh menyalah gunakan kepemimpinannya untuk hal-hall
yang tidak benar. Karena itu, para pemimpin dan orang-orang yang dipimpin harus
memahamii hakikat kepemimpinan dalam pandangan Islam yang secara garis besar terdapat lima lingkup.
1.
Tanggung
Jawab, Bukan Keistimewaan.
Ketika seseorang diangkat atau ditunjuk untuk
memimpin suatu lembaga atau institusi, maka ia sebenarnya mengemban tanggung
jawab yang besar sebagai seorang pemimpin yang harus mampu mempertanggung jawabkannya.
Bukan hanya dihadapan manusia tapi juga dihadapan Allah Swt. Oleh karena itu,
jabatan dalam semua level atau tingkatan bukanlah suatu keistimewaan sehingga
seorang pemimpin atau pejabat tidak boleh merasa menjadi manusia yang istimewa
sehingga ia merasa harus diistimewakan dan ia sangat marah bila orang lain
tidak mengistimewakan dirinya. Contoh lain, ketika Umar bin Abdul Aziz, seorang
khalifah yang cemerlang datang ke sebuah pasar untuk mengetahui langsung
keadaan pasar, maka ia datang sendirian dengan penampilan biasa, bahkan sangat
sederhana sehingga ada yang menduga kalau ia seorang kuli panggul lalu orang
itupun menyuruhnya untuk membawakan barang yang tak mampu dibawanya. Umar
membawakan barang orang itu dengan maksud menolongnya, bukan untuk mendapatkan
upah. Namun ditengah jalan, ada orang memanggilnya dengan panggilan yang mulia
sehingga pemilik barang yang tidak begitu memperhatikannya menjadi
memperhatikan siapa orang yang telah disuruhnya membawa barangnya. Setelah ia
tahu bahwa Umar sang khalifah yang disuruhnya, iapun meminta maaf, namun Umar
merasa hal itu bukanlah suatu kesalahan. Karena kepemimpinan itu tanggung jawab
atau amanah yang tiodak boleh disalahgunakan, maka pertanggungj awaban menjadi suatu kepastian,
Rasulullah Saw bersabda: Setiap kamu
adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawaban tentang kepemimpinan kamu
(HR. Bukhari dan
Muslim)
2.
Pengorbanan, Bukan Fasilitas.
Menjadi pemimpin atau
pejabat bukanlah untuk menikmati kemewahan atau kesenangan hidup dengan
berbagai fasilitas duniawi yang menyenangkan, tapi justru ia harus mau
berkorban dan menunjukkan pengorbanan, apalagi ketika masyarakat yang
dipimpinnya berada dalam kondisi sulit dan sangat sulit. Karenanya dalam suatu
riwayat diceritakan bahwa Umar bin Abdul Aziz sebelum menjadi khalifah
menghabiskan dana untuk membeli pakaian yang harganya 400 dirham, tapi ketika
ia menjadi khalifah ia hanya membeli pakaian yang harganya 10 dirham, hal ini
ia lakukan karena kehidupan yang sederhana tidak hanya harus dihimbau, tapi
harus dicontohkan langsung kepada masyarakatnya. Karena itu menjadi terasa aneh
bila dalam anggaran belanja negara atau propinsi dan tingkatan yang dibawahnya terdapat
anggaran dalam puluhan bahkan ratusan juta untuk membeli pakaian bagi para
pejabat, padahal ia sudah mampu membeli pakaian dengan harga yang mahal
sekalipun dengan uangnya sendiri sebelum ia menjadi pemimpin atau pejabat.
3.
Kerja
Keras, Bukan Santai.
Para pemimpin mendapat
tanggung jawab yang besar untuk menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan
yang menghantui masyarakat yang dipimpinnya untuk Selanjutnya mengarahkan
kehidupan masyarakat untuk bisa menjalani kehidupan yang baik dan benar serta
mencapai kemajuan dan kesejahteraan. Untuk itu, para pemimpin dituntut bekerja
keras dengan penuh kesungguhan dan optimisme. Saat menghadapi krisis ekonomi,
Khalifah Umar bin Khattab membagikan sembako (bahan pangan) kepada rakyatnya.
Meskipun sore hari ia sudah menerima laporan tentang pembagian yang merata,
pada malam hari, saat masyarakat sudah mulai tidur, Umar mengecek langsung
dengan mendatangi lorong-lorong kampung, Umar mendapati masih ada rakyatnya
yang memasak batu sekedar untuk memberi harapan
kepada anaknya yang menangis karena lapar dan
kemungkinan mendapatkan makanan. Meskipun malam sudah semakin larut, Umar
pulang ke rumahnya dan ternyata ia memanggul sendiri satu karung bahan makanan
untuk diberikan kepada rakyatnya yang belum memperolehnya.
4.
Kewenangan
Melayani, Bukan Sewenang-Wenang. Pemimpin adalah pelayan bagi orang yang
dipimpinnya, karena itu menjadi pemimpin atau pejabat berarti mendapatkan
kewenangan yang besar untuk bisa melayani masyarakat dengan pelayanan yang
lebih baik dari pemimpin sebelumnya, Rasulullah Saw bersabda: Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka (HR.
Abu Na’im) Oleh karena itu, setiap pemimpin harus memiliki visi dan misi
pelayanan terhadap orang-orang yang dipimpinnya guna meningkatkan kesejahteraan
hidup, ini berarti tidak ada keinginan sedikitpun untuk menzalimi rakyatnya
apalagi menjual rakyat, berbicara atas nama rakyat atau kepentingan rakyat padahal
sebenarnya untuk kepentingan diri, keluarga atau golongannya. Bila pemimpin
seperti ini terdapat dalam kehidupan kita, maka ini adalah pengkhianat yang
paling besar, Rasulullah Saw bersabda: Khianat
yang paling besar adalah bila seorang penguasa memperdagangkan rakyatnya
(HR. Thabrani).
5.
Keteladanan
dan Kepeloporan, Bukan Pengekor. Dalam segala bentuk kebaikan, seorang
pemimpin seharusnya menjadi teladan dan pelopor, bukan malah menjadi pengekor
yang tidak memiliki sikap terhadap nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Ketika
seorang pemimpin menyerukan kejujuran kepada rakyat yang dipimpinnya, maka ia
telah menunjukkan kejujuran itu. Ketika ia menyerukan hidup sederhana dalam
soal materi, maka ia tunjukkan kesederhanaan bukan malah kemewahan. Masyarakat
sangat menuntut adanya pemimpin yang bisa menjadi pelopor dan teladan dalam
kebaikan dan kebenaran. Sebagai seorang pemimpin, Rasulullah Saw tunjukkan
keteladanan dan kepeloporan dalam banyak peristiwa. Ketika Rasulullah Saw
membangun masjid Nabawi di Madinah bersama para sahabatnya, beliau tidak hanya
menyuruh dan mengatur atau tunjuk sana tunjuk sini, tapi beliau turun langsung
mengerjakan hal-hal yang bersifat teknis sekalipun. Beliau membawa batu bata
dari tempatnya ke lokasi pembangunan sehingga ketika para sahabat yang lebih
muda dari beliau sudah mulai lelah dan beristirahat, Rasul masih terus saja
membawanya meskipun ia juga nampak lelah. Karena itu seorang sahabat bermaksud
mengambil batu yang dibawa oleh nabi agar ia yang membawanya, tapi nabi justeru
mengatakan: “kalau kamu mau membawa batu
bata, disana masih banyak batu yang bisa engkau bawa, yang ini biar tetap aku
yang membawanya”. Karenanya para sahabat tetap dan terus bersemangat dalam
proses penyelesaian pembangunan masjid Nabawi.
B.
CIRI-CIRI PEMIMPIN ISLAMI
1.
Taat
Kepada Allah & RasulNya
2.
Beriman
Dan Beramal Sholeh
3.
Takut
Kepada Allah S.W.T
4.
Memimpin
Dengan Kitabullah Dan Sunnah Nabi s.a.w
5.
Adil
6.
Memerintah
Kepada Ketaatan Dan Kebaikan
7.
Tidak
Mengkhianati(Amanah)
8.
Tidak Menipu/Membohong
9.
Benar
10.
Berilmu
11.
Tidak
Zalim
12.
Tidak
Melampau Batas
13.
Tidak
Menyesatkan
14.
Mengutamakan(agama)
Keimanan
15.
Tidak
Mengutamakan Kenikmatan Dunia
16.
Tidak
Mementingkan Diri Sendiri(Mementingkan Rakyat)
17.
Berjasa
Kepada Manusia
18.
Tidak
Mempersulitkan
Rakyatnya
19.
Tidak Sombong
20.
Tidak
Mengharap Dan Meminta-Minta Jabatan
21.
Tidak
Rasuah Dan Menerima Hadiah(Untuk kepentingan/balasan)
22.
Tidak
Menggelapkan Harta/Uang Rakyat(Negara)
23.
Memakmurkan
Rakyat/Negara
24.
Tidak
Mengikut Hawa Nafsu
Tetapi sebenarnya dari
sekian banyak ciri-ciri pemimpin yang ada diatas dapat kita simpulkan bahwa
ciri-ciri pemimpin dapat kita lihat dari sifat-sifat Rasullah SAW, yaitu Sidiq,
Amanah, Tablikh dan Fatonah itulah ciri-ciri pemimpin islam,itulah pokok yang
harus dimiliki oleh pemimpin islam yang mana keempat empatnya adalah
sifat-sifat baginda nabi besar Muhammad SAW
C. KEPEMIMPINAN DALAM AL-QUR’AN DAN AL-HADIST
1. Kesejahteraan rakyat adalah tanggung jawab seorang pemimpin
حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ مَسْلَمَةَ عَنْ مَالِكٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ فَالْأَمِيرُ الَّذِي عَلَى النَّاسِ رَاعٍ عَلَيْهِمْ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُمْ وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ بَعْلِهَا وَوَلَدِهِ وَهِيَ مَسْئُولَةٌ عَنْهُمْ وَالْعَبْدُ رَاعٍ عَلَى مَالِ سَيِّدِهِ وَهُوَ مَسْئُولٌ عَنْهُ فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
Ibn umar r.a berkata : saya telah mendengar
rasulullah saw bersabda : setiap orang adalah pemimpin dan akan diminta
pertanggungjawaban atas kepemimpinannnya. Seorang kepala negara akan diminta
pertanggungjawaban perihal rakyat yang dipimpinnya. Seorang suami akan ditanya
perihal keluarga yang dipimpinnya. Seorang isteri yang memelihara rumah tangga
suaminya akan ditanya perihal tanggungjawab dan tugasnya. Bahkan seorang
pembantu/pekerja rumah tangga yang bertugas memelihara barang milik majikannya
juga akan ditanya dari hal yang dipimpinnya. Dan kamu sekalian pemimpin dan
akan ditanya (diminta pertanggungan jawab) darihal hal yang dipimpinnya.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Pada dasarnya, hadis
di atas berbicara tentang etika kepemimpinan dalam islam. Dalam hadis ini
dijelaskan bahwa etika paling pokok dalam kepemimpinan adalah tanggun jawab.
Semua orang yang hidup di muka bumi ini disebut sebagai pemimpin. Karenanya,
sebagai pemimpin, mereka semua memikul tanggung jawab, sekurang-kurangnya
terhadap dirinya sendiri. Seorang suami bertanggung jawab atas istrinya,
seorang bapak bertangung jawab kepada anak-anaknya, seorang majikan betanggung
jawab kepada pekerjanya, seorang atasan bertanggung jawab kepada bawahannya,
dan seorang presiden, bupati, gubernur bertanggung jawab kepada rakyat yang
dipimpinnya, dst.
Akan tetapi,
tanggung jawab di sini bukan semata-mata bermakna melaksanakan tugas lalu
setelah itu selesai dan tidak menyisakan dampak bagi yang dipimpin. Melainkan
lebih dari itu, yang dimaksud tanggung jawab di sini adalah lebih berarti upaya
seorang pemimpin untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pihak yang dipimpin.
Karena kata ra ‘a sendiri secara bahasa bermakna gembala dan kata ra-‘in berarti
pengembala. Ibarat pengembala, ia harus merawat, memberi makan dan mencarikan
tempat berteduh binatang gembalanya. Singkatnya, seorang penggembala
bertanggung jawab untuk mensejahterakan binatang gembalanya.
Tapi cerita gembala
hanyalah sebuah tamsil, dan manusia tentu berbeda dengan binatang, sehingga
menggembala manusia tidak sama dengan menggembala binatang. Anugerah akal budi
yang diberikan allah kepada manusia merupakan kelebihan tersendiri bagi manusia
untuk mengembalakan dirinya sendiri, tanpa harus mengantungkan hidupnya kepada
penggembala lain. Karenanya, pertama-tama yang disampaikan oleh hadis di atas
adalah bahwa setiap manusia adalah pemimpin yang bertanggung jawab atas
kesejahteraan dirinya sendiri. Atau denga kata lain, seseorang mesti bertanggung
jawab untuk mencari makan atau menghidupi dirinya sendiri, tanpa mengantungkan
hidupnya kepada orang lain
Dengan
demikian, karena hakekat kepemimpinan adalah tanggung jawab dan wujud tanggung
jawab adalah kesejahteraan, maka bila orang tua hanya sekedar memberi makan
anak-anaknya tetapi tidak memenuhi standar gizi serta kebutuhan pendidikannya
tidak dipenuhi, maka hal itu masih jauh dari makna tanggung jawab yang
sebenarnya. Demikian pula bila seorang majikan memberikan gaji prt (pekerja
rumah tangga) di bawah standar ump (upah minimu provinsi), maka majikan
tersebut belum bisa dikatakan bertanggung jawab. Begitu pula bila seorang
pemimpin, katakanlah presiden, dalam memimpin negerinya hanya sebatas menjadi
“pemerintah” saja, namun tidak ada upaya serius untuk mengangkat rakyatnya dari
jurang kemiskinan menuju kesejahteraan, maka presiden tersebut belum bisa dikatakan
telah bertanggung jawab. Karena tanggung jawab seorang presiden harus
diwujudkan dalam bentuk kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil dan kaum
miskin, bukannya berpihak pada konglomerat dan teman-teman dekat. Oleh sebab
itu, bila keadaan sebuah bangsa masih jauh dari standar kesejahteraan, maka
tanggung jawab pemimpinnya masih perlu dipertanyakan
2. Hukuman bagi pemimpin yang menipu rakyat
حَدَّثَنَا شَيْبَانُ بْنُ فَرُّوخَ حَدَّثَنَا أَبُو الْأَشْهَبِ عَنْ الْحَسَنِ قَالَ عَادَ عُبَيْدُ اللَّهِ بْنُ زِيَادٍ مَعْقِلَ بْنَ يَسَارٍ الْمُزنِيَّ فِي مَرَضِهِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ قَالَ مَعْقِلٌ إِنِّي مُحَدِّثُكَ حَدِيثًا سَمِعْتُهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ عَلِمْتُ أَنَّ لِي حَيَاةً مَا حَدَّثْتُكَ إِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَا مِنْ عَبْدٍ يَسْتَرْعِيهِ اللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ
Abu ja’la (ma’qil)
bin jasar r.a berkata: saya telah mendengar rasulullah saw bersabda: tiada
seorang yang diamanati oleh allah memimpin rakyat kemudian ketika ia mati ia
masih menipu rakyatnya, melainkan pasti allah mengharamkan baginya surga.
(buchary, muslim)
Penjelasan:
Kejujuran adalah modal yang paling
mendasar dalam sebuah kepemimpinan. Tanpa kejujuran, kepemimpinan ibarat
bangunan tanpa fondasi, dari luar nampak megah namun di dalamnya rapuh dan tak
bisa bertahan lama. Begitu pula dengan kepemimpinan, bila tidak didasarkan atas
kejujuran orang-orang yang terlibat di dalamnya, maka jangan harap kepemimpinan
itu akan berjalan dengan baik. Namun kejujuran di sini tidak bisa hanya
mengandalakan pada satu orang saja, kepada pemimpin saja misalkan. Akan tetapi
semua komponen yang terlibat di dalamnya, baik itu pemimpinnya, pembantunya,
staf-stafnya, hingga struktur yang paling bawah dalam kepemimpnan ini, semisal
tukang sapunya, harus menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran. Hal itu karena
tidak sedikit dalam sebuah kepemimpinan, atau sebuah organisasi, terdapat pihak
yang jujur namun juga terdapat pihak yang tidak jujur. Bila pemimpinnya jujur
namun staf-stafnya tidak jujur, maka kepemimpinan itu juga akan rapuh. Begitu
pula sebaliknya.
Namun secara garis
besar, yang sangat ditekankan dalam hadis ini adalah seorang pemimpin harus
memberikan suri tauladan yang baik kepada pihak-pihak yang dipimpinnya. Suri
tauladan ini tentunya harus diwujudkan dalam bentuk kebijakan-kebijakan atau
keputusan-keputusan pemimpin yang tidak menipu dan melukai hati rakyatnya.
Pemimpin yang menipu dan melukai hati rakyat, dalam hadis ini disebutkan,
diharamkan oleh allah untuk mengninjakkan kaki di surga.
Meski hukuman ini nampak kurang kejam, karena hanya hukuman di akhirat dan
tidak menyertakan hukuman di dunia, namun sebenarnya hukuman “haram masuk surga” ini mencerminkan
betapa murkanya allah terhadap pemimpin yang tidak jujur dan suka menipu
rakayat.
3. Pemimpin harus bersikap
adil
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَّامٍ أَخْبَرَنَا
عَبْدُ اللَّهِ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ عَنْ خُبَيْبِ بْنِ عَبْدِ
الرَّحْمَنِ عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَبْعَةٌ يُظِلُّهُمْ اللَّهُ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ فِي ظِلِّهِ يَوْمَ لَا ظِلَّ إِلَّا ظِلُّهُ إِمَامٌ عَادِلٌ
وَشَابٌّ نَشَأَ فِي عِبَادَةِ اللَّهِ وَرَجُلٌ ذَكَرَ اللَّهَ فِي خَلَاءٍ
فَفَاضَتْ عَيْنَاهُ وَرَجُلٌ قَلْبُهُ مُعَلَّقٌ فِي الْمَسْجِدِ وَرَجُلَانِ
تَحَابَّا فِي اللَّهِ وَرَجُلٌ دَعَتْهُ امْرَأَةٌ ذَاتُ مَنْصِبٍ وَجَمَالٍ
إِلَى نَفْسِهَا قَالَ إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ وَرَجُلٌ تَصَدَّقَ بِصَدَقَةٍ
فَأَخْفَاهَا حَتَّى لَا تَعْلَمَ شِمَالُهُ مَا صَنَعَتْ يَمِينُه
Abu hurairah r.a: berkata: bersabda
nabi saw: ada tujuh macam orang yang bakal bernaung di bawah naungan allah,
pada hati tiada naungan kecuali naungan allah:
Imam(pemimpin) yang adil, dan pemuda
yang rajin ibadah kepada allah. Dan orang yang hatinya selalu gandrung kepada
masjid. Dan dua orang yang saling kasih sayang karena allah, baik waktu
berkumpul atau berpisah. Dan orang laki yang diajak berzina oleh wanita bangsawan
nan cantik, maka menolak dengan kata: saya takut kepada allah. Dan orang yang
sedekah dengan sembunyi-sembunyi hingga tangan kirinya tidak mengetahui apa
yang disedekahkan oleh tangan kanannya. Dan orang berdzikir ingat pada allah
sendirian hingga mencucurkan air matanya. (buchary, muslim)
Penjelasan:
Meski hadis ini menjelaskan tentang
tujuh macam karakter orang yang dijamin keselamatannya oleh allah nanti pada
hari kiamat, namun yang sangat ditekankan oleh hadis ini adalah karakter orang
yang pertama, yaitu pemimpin yang adil. Bukannya kita menyepelekan enam
karakter sesudahnya, akan tetapi karakter pemimpin yang adil memang menjadi
tonggak bagi kemaslahatan seluruh umat manusia. Tanpa pemimpin yang adil maka
kehidupan ini akan terjebak ke dalam jurang penderitaan yang cukup dalam.
Untuk
melihat sejauh mana seorang peimimpin itu telah berlaku adil terhadap rakyatnya
adalah melalui keputusan-keputuasan dan kebijakan yang dikeluarkannya. Bila
seorang pemimpin menerapkan hukum secara sama dan setara kepada semua warganya
yang berbuat salah atau melanggar hukum, tanpa tebang pilih, maka pemimpin itu
bisa dikatakan telah berbuat adil. Namun sebaliknya, bila pemimpin itu hanya
menghukum sebagian orang (rakyat kecil) tapi melindungi sebagian yang lain (elit/konglomerat),
padahal mereka sama-ama melanggar hukum, maka pemimpin itu telah berbuat dzalim
dan jauh dari perilaku yang adil.
4. Sholat mendorong pemimpin berbuat adil
حَدَّثَنَا هَدَّابُ بْنُ خَالِدٍ الْأَزْدِيُّ حَدَّثَنَا هَمَّامُ بْنُ يَحْيَى حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ الْحَسَنِ عَنْ ضَبَّةَ بْنِ مِحْصَنٍ عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
Rasulullah saw
bersabda: akan ada para pemimpin yang kalian kenal dan kalian ingkari. Siapa
yang tidak menyukainya maka dia bebas dan barang siapa yang mengingkarinya maka
dia selamat, akan tetapi (dosa dan hukuman) diberlakukan kepada orang yang yang
ridha dan mengikuti para pemimpin itu. Para sahabat bertanya: apakah kami boleh
memeranginya wahai rasulullah saw. Beliau menjawab: tidak boleh selama para
pemimpin itu masih mengerjakan shalat. (hr.muslim)
5.
“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:
“Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. Mereka
berkata: “Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa
bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?” Tuhan berfirman:
“Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui”. (Al Baqarah: 30)
6.
”Hai orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah SWT dan
ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu
berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah SWT (Al
Qur’an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah SWT
dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS An-Nisa: 59)
7.
يدَاوُودُ إِنَّا
جَعَلْنَـكَ خَلِيفَةً فِى الاٌّرْضِ فَاحْكُمْ بَيْنَ النَّاسِ بِالْحَقِّ وَلاَ
تَتَّبِعِ الْهَوَى فَيُضِلَّكَ عَن سَبِيلِ اللَّهِ إِنَّ الَّذِينَ يَضِلُّونَ
عَن سَبِيلِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدُ بِمَا نَسُواْ يَوْمَ الْحِسَابِ
” Hai Daud, sesungguhnya Kami
menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan
(perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa
nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah SWT. Sesungguhnya
orang-orang yang sesat dari jalan Allah SWT akan mendapat azab yang berat,
karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Qs Shad: 26)
8.
فَلاَ وَرَبِّكَ
لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ
يَجِدُواْ فِى أَنفُسِهِمْ حَرَجاً مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُواْ تَسْلِيماً
“maka
demi tuhanmu, mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak
merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang kamu berikan, dan
mereka menerima sepenuhnya.”( Surah an-Nisaa’ ayat 65.)
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Rasulullah SAW
senantiasa berpegang kepada aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT. Segala
sesuatu yang beliau lakukan hanyalah karena Allah SWT semata. Tugas, pangkat
dan jabatan tersebut datangnya jua dari Allah SWT, maka kepada Allah SWT
pulalah kita mempertanggung
jawabkannya.
Rasulullah SAW merupakan cerminan suri tauladan dan pemimpin yang bijak,
adil, amanah,dapatdipercaya, fatonah dan tabligh itu semua adalah karakter
seorang pemimpin yang agung
B. SARAN
Kita semua adalah pemimpin dan kita
semua akan diminta pertanggung jawabannya atas apa yang kita pimpin. Tidak ada
perkara didunia ini yang tidak ada kaitannya dengan akhirat, hanya debu yang
tidak dimintai pertanggung jawaban ,
diatas hanya Allah dibawah hanya Tanah
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Al-Qur'an & Terjemahan,Shohih
Muslim(Ringkasan) dan Riyadhus Sholihin(Terjemahan)
Ø Quraish
Shibab, Tafsir al-Mishbah Vol.1, Jakarta: Lentera Hati, 2002
Ø Thaba’taba’I,
Tafsir Mizan, Jakarta: Firdaus, 1991
Ø Bulughul Marom Sohih Bukhari
dan Muslim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar