Rabu, 21 Desember 2016

Makalah IAIN Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pembelajaran

BAB II
PEMBAHASAN

A.           Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan anak didik. Dalam lingkunganlah anak didik hidup dan berinteraksi dalam mata rantai kehidupan yang disebut ekosistem. Saling ketergantungan antara lingkungan biotik dan abiotik tidak dapat dihindari. Itulah hukum alam yang harus dihadapi oleh anak didik sebagai mahluk hidup yang tergolong kelompok biotik. Selama hidup anak didik tidak bisa menghindari diri dari lingkungan sosial budaya. Interaksi dari kedua lingkungan yang berbeda ini selalu terjadi dalam mengisi kehidupan anak didik. Keduanya mempunyai pengaruh cukup signifikan terhadap belajar anak didik di sekolah. Oleh karena kedua lingkungan ini akan dibahas satu demi satu dalam uraian berikut.
1.             Lingkungan Alami
Lingkungan hidup adalah lingkungan tempat tinggal anak didik hidup dan berusaha di dalamnya. Pencemaran lingkungan hidup merupakan malapetaka bagi anak didik yang hidup di dalamnya. Udara yang tercemar merupakan polusi yang dapat mengganggu pernafasan. Udara yang terlalu dingin menyebabkan anak didik kedinginan. Suhu udara yang terlalu panas menyebabkan anak didik kepanasan, pengap, dan tidak betah tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, keadaan suhu dan kelembapan udara berpengaruh terhadap belajar anak didik di sekolah. Belajar pada keadaan udara yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang panas dan pengap. Berdasarkan kenyataan yang demikian, orang cenderung berpendapat bahwa belajar dipagi hari akan lebih baik hasilnya daripada belajar pada sore hari. Kesejukan udara dan ketenangan suasana kelas diakui sebagai kondisi lingkungan kelas yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan belajar mengajar yang menyenangkan .
            Lingkungan sekolah yang baik adalah lingkungan sekolahyang di dalamnya dihiasi dengan tanaman/pepohonan yang dipelihara dengan baik. Apotik hidup yang mengelompokkan dengan baik dan rapi sebagai laboratorium alam bagi anak didik. Sejumlah kursi dan meja belajar teratur rapi yang ditempatkan di bawah pohon-pohon tertentu agar anak didik dapat belajar mandiri diluar kelas dan berinteraksi dengan lingkungan. Kesejukan lingkungan membuat anak didik betah tinggal berlama-lama di dalamnya. Begitulah lingkungan sekolah yang dikehendaki. Bukan lingkungan sekolah yang gersang, pengap, tandus dan panas yang berkepanjangan. Oleh karena itu, pembangunan sekolah sebaiknya berwawasan lingkungan, bukan memusuhi lingkungan.
            Pengalaman telah banyak membuktikan bagaimana panasnya lingkungan kelas, di mana suatu sekolah yang miskin tanaman atau pepohonan di sekitarnya. Anak didik gelisah hati untuk keluar kelas lebih besar dari pada mengikuti pelajaran di dalam kelas. Daya konsentrasi menurun akibat suhu udara yang panas. Daya serap semakin melemah akibat kelelahan yang tak terbendung.

2.             Lingkungan Sosial Budaya
Pendapat yang tak dapat disangkal adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk homo socius. Semacam mahluk yang cenderung untuk hidup bersama satu sama lainnya. Hidup dalam kebersamaan dan saling membutuhkan akan melahirkan interaksi sosial. Saling memberi dan saling menerima merupakan kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan sosial. Berbicara, bersenda gurau, memberi nasehat, dan bergotong royong merupakan interaksi sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
            Sebagai anggota masyarakat, anak didik tidak bisa melepaskan diri dari ikatan sosial. Sistem sosial yang terbentuk mengikat perilaku anak didik untuk tunduk pada norma-norma sosial, susila, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Demikian juga halnya di sekolah. Ketika anak didik berada di sekolah, maka dia berada dalam sistem sosial di sekolah. Peraturan dan tata tertib sekolah harus anak didik taati. Pelanggaran yang di lakukan oleh anak didik akan dikenakan sanksi sesuai dengan jenis dan  berat ringannya pelanggaran. Lahirnya peraturan sekolah bertujuan untuk mengatur dan membentuk prilaku anak didik yang menunjang keberhasilan belajar di sekolah.
            Lingkungan sosial budaya di luar sekolah ternyata sisi kehidupan yang mendatang problem tersendiri bagi kehidupan anak didik di sekolah. Pembangunan gedung sekolah yang tak jauh dari hiruk pikuk lalu lintas menimbulkan kegaduhan suasana kelas. Pabrik-pabrik yang didirikan di sekitar sekolah dapat menimbulkan kebisingan di dalam kelas. Keramaian sayup-sayup terdengar oleh anak didik di dalam kelas. Bagaimana anak didik tidak berkonsentrasi dengan baik bila berbagai gangguan itu selalu terjadi di sekitar anak didik. Jangankan berbagai gangguan dari peristiwa di luar sekolah, ada seseorang yang hilir mudik di sekitar anak pun, dia tak mampu berkonsentrasi dengan baik. Bercakap cakap di sekitar anak yang sedang belajar, juga dapat membuyarkan konsentrasinya dalam belajar. Suara bising dari knalpot kendaraan bermotor tak jarang mengejutkan anak didik yang sedang berkonsentrasi menerima materi pelajaran dari guru. Representasi sesuatu dalam wujud potret atau tulisan diakui dapat mengganggu kegiatan belajar anak didik mengingat pengaruh yang kurang menguntungkan dari lingkungan pabrik, pasar dan arus lalu lintas tentu akan sangat bijaksana bila pembangunan gedung sekolah di tempat yang jauh dari lingkungan pabrik, pasar, lalu lintas dan sebagainya.

B.            Faktor Instrumental
Setiap sekolah mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan tentu saja pada tingkat kelembagaan. Dalam rangka melicinkan ke arah itu diperlukan seperangkat kelengkapan dalam berbagai bentuk dan jenisnya. Semuanya dapat diperdayagunakan menurut fungsi masing-masing kelengkapan sekolah. Kurikulum dapat dipakai oleh guru dalam merencanakan program pengajaran. Program sekolah dapat dijadikan acuan untuk meningkatkan kualitas belajar mengajar. Sarana dan fasilitas yang tersedia harus di manfaatkan sebaik-baiknya agar berdaya guna dan berhasil guna bagi kemajuan belajar anak didik di sekolah.
1.             Kurikulum
Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur substansi dalam pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang harus guru sampaikan dalam suatu pertemuan kelas, belum guru programkan sebelumnya. Itulah sebabnya , untuk semua mata pelajaran, setiap guru memiliki kurikulum untuk mata pelajaran yang dipegang dan diajarkan kepada anak didik. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasarannya. Sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
            Muatan kurikulum akan mempengaruhi intensif dan frekuensi belajar anak didik. Seorang guru terpaksa menjejelkan sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik dalam waktu yang masih sedikit tersisa, karena ingin mencapai target kurikulum, akan memaksa anak didik belajar dengan keras tanpa mengenal lelah. Padahal anak didik sudah lelah belajar ketika itu. Tentu saja hasil belajar yang demikian kurang memuaskan dan cenderung mengecewakan. Guru akan mendapatkan hasil belajar anak didik di bawah standar minimum. Hal ini di sebabkan telah terjadi proses belajar yang kurang wajar pada diri setiap anak didik. Pemadatan kurikulum dengan alokasi waktu yang disediakan relatif sedikit secara psikologi – disadari atau tidak – mengiring guru pada pilihan untuk melaksanakan percepatan belajar anak didik untuk mencapai target kurikulum. Tentang penguasaan anak didik terhadap bahan pelajaran tidak menjadi soal, yang penting target kurikulum telah tercapai. Itu berarti kewajiban mengajar sudah selesai. Sungguh hal ini tidak harus terjadi bila ingin meningkatkan kualitas belajar mengajar
            Untuk mencapai target penguasaan kurikulum oleh anak didik terkadang dirasakan begitu sukar. Faktor sejarah pendidikan masa lalu yang menjadi akar permasalahannya. Sebelum melanjutkan sekolah, anak didik telah di didik dalam lingkungan sekolah dengan sistem pendidikan yang kurang baik, maka anak didik dapat mengalami kesukaran untuk beradabtasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Ada mata pelajaran tertentu yang sangat sukar untuk diserap dan dicerna oleh anak didik. Boleh jadi mata pelajaran itu sangat dibenci oleh anak didik karena sesuatu hal. Guru tidak dapat banyak berharap kepada anak didik seperti ini untuk mencapai target penguasaan kurikulum. Jadi, kurikulum diakui dapat mempengaruhi proses dan hasil belajar anak didik di sekolah.

2.             Program
Setiap sekolah mempunyai program pendidikan. Program pendidikan disusun untuk dijalankan demi kemajuan pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya program pendidikan yang dirancang. Program pendidikan disusun berdasarkan potensi sekolah yang tersedia, baik tenaga, finansial, dan sarana prasarana.
            Bervariasinya potensi yang tesedia melahirkan program pendidikan yang berlainan untuk setiap sekoalh. Untuk program pendidikan yang bersifat umum masih terdapat persamaan, tetapi untuk penjabaran program pendidikan menjadi bagian-bagian program kecil – bagian dan subbagian – ada perbedaan. Tenaga , finansial, dan sarana prasarana merupakan biang dari perbedaan itu.
Dari perbedaan program pendidikan di atas tidak dapat dihindari adanya perbedaan kualitas pengajaran. Kualitas pengajaran antara sekolah yang kekurangan guru dan sekolah yang  memiliki guru yang lengkap berbeda. Sekolah yang tidak kekurangan tentu lebih baik kualitas pengajarannya dari pada sekolah yang kekurangan guru. Karena tidak ada mata pelajaran yang terbengkalai karena ketiadaan guru. Apalagi bila mata pelajaran yang dipegang guru itu sesuai latar belakang pendidikannya. Setiap guru yang memegang mata pelajaran itu mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membina dan membimbing setiap anak didik – secara individual atau berkelompok – agar mencapai prestasi optimal dalam belajar.
Program bimbingan dan penyuluhan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan belajar anak didik di sekolah. Tidak semua anak didik sepi dari masalah kesulitan belajar. Bervariasinya nilai kuantitatif di dalam rapor sebagai bukti bahwa tingkat penguasaan bahan pelajaran oleh anak didik yang bermacam-macam. Bantuan mutlak diberikan anak didik yang bermsalah agar mereka tenang dan bergairah dalam belajar. Ketiadaan tenaga bimbingan dan penyuluhan tidak menjadi alasan untuk tidak memberikan bantuan dalam usaha mengeluarkan anak didik dari kesulitan belajar. Wali kelas atau dewan guru dapat berperan sebagai penyuluhan yang memberikan penyuluhan bagaimana cara mengatasi kesulitan belajar dan bagaimana cara belajar yang baik dan benar kepada anak didik.
Program pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi kemana proses belajar itu berlangsung. Gaya belajar anak didik diiringi ke suatu aktivitas belajar yang menunjang keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Penyimpangan perilaku anak didik dari aktivitas belajar dapat menghambat keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Iotu berarti guru tidak berhasil membelajarkan anak didik. Akibatnya, anak didik tidak menguasai bahan pelajarn yang diberikan itu. Program pengajaran yang dibuat tidak hanya berguna bagi guru, tetapi juga bagi anak didik. Bagi guru dapat menyeleksi perbuatan sendiri dan kata-kata atau kalimat yang dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran. Bagi anak didik dapat memilih bahan pelajaran atau kegiatan yang menunjang ke arah penguasaan materi se efektif dan se efisien mungkin

3.             Sarana dan Prasarana
Sarana mempunyai arti penting dalam pendidikan. Gedung sekolah misalnya sebagai tempat yang strategis bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Salah satu persyaratan membuat suatu sekolah adalah pemilikan gedung sekolah yang di dalamnya ada ruang kelas , ruang kepala sekolah, ruang dewan guru,ruang perpustakaan, ruang BP, ruang tata usaha, autorium, dan halaman sekolah yang memadai. Semua bertujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan anak didik.
            Suatu sekolah yang kekurangan ruang kelas, sementara jumlah anak didik yang dimiliki dalam jumlah yang banyak melebihi daya tampung kelas, akan banyak menemukan masalah. Kegiatan belajar mengajar berlangsung kurang kondusif. Pengelolaan kelas kurang efektif. Konflik antar anak didik sukar dihindari. Penempatan anak didik secara proposional sering terabaikan. Pertimbangan material dengan menerima anak didik yang masuk dalam jumlah yang banyak, melebihi kapasitas kelas adalah kebijakan yang cenderung mengabaikan aspek kualitas pendidikan. Hal ini harus dihindari bila ingin bersaing dalam peningkatan mutu pendidikan.
Gedung sekolah yang berada di dua tempat yang berjauhan cenderung sukar dikelola. Pengawasan sukar dilaksanakan dengan efektif. Kepala sekolah harus bergilir waktu untuk mengunjungi sekolah binaanya yang berada di dua tempat itu. Guru yang akan mengajar merasa kurang tenang karena harus diburu-buru waktu. Pembagian jadwal mengajar sukar disusun karena penyusunannya harus mempertimbangkan jauh dekatnya sekolah yang harus dituju. Belum lagi untuk melayani keinginan guru tertentu yang hanya ingin mengajar pada kelas-kelas tertentu dan tidak ingin ke sana ke mari.
            Selain masalah sarana, fasilitas juga kelengkapan sekolah yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Lengkap tidaknya buku-buku di perpustakaan ikut menentukan kualitas suatu sekolah. Perpustakaan sekolah adalah laboratorium ilmu. Tempat ini harus menjadi “sahabat karib” anak didik. Di sekolah, kapan dan di mana ada waktu luang anak didik harus datang ke sana untuk membaca buku atau meminjam buku demi keberhasilan belajar.
Buku pegangan anak didik harus legkap sebagai penunjang kegiatan belajar. Dengan demikian buku sendiri anak didik dapat membaca sendiri kapan dan dimana pun ada kesempatan , entah di sekolah, entah di rumah, entah di bawah pohon di pekarangan sekolah dan sebagainya. Pihak sekolah dapat membantu anak didik dengan meminjami anak sejumlah buku yang sesuai dengan kurikulum. Dengan memberi fasilitas belajar tersebutdiharapkan kegiatan belajar anak didik lebih bergairah. Tidak ada alasan bagi anak didik untuk tidak berprestasi dalam belajar karena bukunya sudah diinjami oleh pihak sekolah. Kecuali karena faktor lain bukan karena ketiadaan buku.
Fasilitas belajar merupakan kelengkapan mengajar guru yang harus dimiliki oleh sekolah. Ini kebutuhan guru yang tak bisa dianggap ringan. Guru harus memiliki buku pegangan dan buku penunjang agar wawasan guru tidak sempit. Buku kependidikan/keguruan perlu dibaca atau dimiliki oleh guru dalam rangka peningkatan kompetensi keguruan. Alat peraga yang guru perlukan harus sudah tersedia di sekolah agar guru sewaktu-waktu dapat menggunakannya sesuai dengan metode mengajar yang akan dipakai dalam penyampaian bahan pelajaran di kelas. Lengkap tidaknya fasilitas sekolah membuka peluang bagi guru untuk lebih kreatif mengajar. Guru dapat membimbing anak didik melakukan percobaan di laboratorium. Alat peraga dapat guru gunakan untuk membantu menjelaskan suatu proses atau cara kerja suatu mesin, yang tak dapat diwakilkan melalui kata-kata atau kalimat. Demikianlah, fasilitas mengajar sangat membantu guru dalam menunaikan tugasnya mengajar di sekolah .
Kualitas anak didik yang berada dari sekolah model pasti berbeda dengan kualitas anak didik yang berasal dari sekolah biasa. Hal ini disebabkan di sekolah model segala sesuatunya diusahakan serba lengkap. Dari tahun ke tahun tidak hanya tenaga guru yang selalu mendapat prioritas penambahan, tetapi yang mendapat pengawasan yang ekstra ketat. Bahkan proyek pembangunan gedung sekolah pun, sekolah model selalu didahulukan dari sekolah biasa.
Dari uraian diatas tentu tidak dapat disangkal bahwa sarana dan fasilitas mempengaruhi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Anak didik tentu dapat belajar lebih baik dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar anak didik. Masalah yang anak didik hadapi dalam belajar relatif kecil. Hasil belajar anak didik tentu akan lebih baik.

4.             Guru
Guru merupakan unsur manusiawi dalam pendidikan. Kehadiran guru mutlak diperlukan di dalamnya. Kalau hanya ada anak didik, tetapi guru tidak ada , maka tidak akan terjadi kegiatan belajar mengajar di sekolah. Jangankan ketiadaan guru, kekurangan guru saja sudah merupakan masalah. Mata pelajaran tertentu pasti kekosongan guru yang dapat memegangnya. Itu berarti mata pelajaran itu tidak dapat diterima anak didik, karena tidak ada guru yang memberikan pelajaran untuk mata pelajaran itu. Kondisi kekurangan guru seperti ini sering ditemukan di lembaga pendidikan yang ada di daerah. Sehingga tidak jarang ditemukan seorang guru memegang lebih dari satu mata pelajaran. Akibatnya, jumlah jam mengajar dalam seminggu melebihi delapan belas jam wajib mengajar. Dari segi materi memang menguntungkan guru tetapi merugikan anak didik.
Tidak gampang untuk menuntut guru lebih profesional, karena semuanya terpulang dari sikap mental guru. Guru yang profesional lebih mengedepankan kualitas pengajaran daripada materiil oriented. Kualitas kerja lebih diutamakan daripada mengambil mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya. Tidak ada rotan akar pun jadi, bukanlah ungkapan yang tepat untuk menyerah pada keadaan, bila masih bisa diusahakan, kecuali kalau memang penganut “nepotisme” tradisional. Tapi ada juga kepala sekolah yang tidak “nepotisme” karena kekurangan guru dan karena sulit mencari tenaga tambahan, terpaksa mengambil kebijakan dengan menyuruh guru memegang mata pelajaran sampai dua atau tiga materi. Mutu pengajaran tidak dipersoalkan, yang penting kekurangan guru dapat dipecahkan.
Persoalan guru memang menyangkut dimensi yang luas, tidak hanya bersentuhan dengan masalah di luar dirinya seperti mampu berhubungan dengan baik dengan warga masyarakat di luar sekolah dan berhubungan dengan anak didiknya kapan dan di mana pun dia berada, tetapi juga masalah yang berkaitan dengan diri pribadinya. Mampukan dia menjadi guru yang baik atau tidak? Itulah yang menjadi persoalan. Menurut M.I Soelaeman (1985 : 45) untuk menjadi guru yang baik itu tidak dapat diandalkan kepada bakat ataupun hasrat (emansipasi) ataupun lingkungan belaka, namun harus disertai kegiatan studi dan latihan serta praktek/pengalaman yang memadai agar muncul sikap guru yang diinginkan sehingga melahirkan kegairahan kerja yang menyenangkan. Oleh karena itu, jadilah guru yang baik atau jangan jadi guru sama sekali. Adalah moto yang dapat dijadikan sebagai renungan.
Pendapat M.I Soelaeman tersebut diatas cukup beralasan dalam hal ini. Karena memang yang mempengaruhi hasil belajar anak didik tidak hanya latar belakang pendidikan/pengalaman mengajar, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap mental guru dalam memandang tugas yang diembannya. Seorang guru yang memandang profesi keguruan sebagai panggilan jiwa akan melahirkan perbuatan untuk melayani kebutuhan anak didik dengan segenap jiwa-raga. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik yang di risaukan selama ini tidak lagi menjadi masalah aktual yang berkepentingan. Yang terjadi adalah kemesraan komunikasi antara guru dan anak didik. Itulah pesan-pesan moral yang ingin diwujudkan dari motto Ki Hajar Dewantara yang berbunyi: tut wuri handayani ing madya mangun karso, ing ngarso sung tulodo. Mengikuti dari belakang, memberi daya di tengah membina kemauannya, di depan memberi teladan.
Secara formal jabatan guru dipandang sebagai jabatan fungsional. Suatu jabatan yang tidak dipengaruhi oleh lintas struktural. Ke manapun guru dimutasikan tidak akan mempengaruhi ke fungsional jabatannya itu. Status jabatan guru yang demikian menuntut guru untuk lebih profesional. Persepsi orang pun digiring untuk memandang guru sebagai tenaga profesional yang harus diakui keberadaannya. Kesejahteraan sebagai pegawai negeri dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan negara harus mendapatkan perhatian yang proiritas, sehingga mereka dapat diharapkan lebih berkonsentrasi pada tugas yang diemban dan tidak lagi melakukan pekerjaan sampingan yang berpotensi menyudutkan dan melecehkan jabatan guru yang dihormati itu. Peduli guru yang disalah artikan bahwa guru sebagai pengemis yang sangat mengharap belas kasihan dan uluran tangan orang lain sangat mencoreng harkat dan martabat guru. Peduli pemerintah terhadap guru harus dimanifestasikan dalam bentuk kenaikan gaji guru, sehingga ekonomi rumah tangga guru dapat membaik. Dunia perkreditan yang selama ini sangat akrab dengan guru sedikit demi sedikit dijauhkan.
Perbaikan ekonomi rumah tangga guru mempunyai arti yang sangat penting bagi guru. Guru sudah merasa cukup menikmati gaji yang ada. Guru tidak perlu merasa khawatir akan kekurangan keuangan setiap bulan. Dengan uang gaji sangat cukup untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidup sekeluarga. Melaksanakan tugas mengajar dengan tenang tanpa dirongrong kepelikan ekonomi. Persiapan mengajar dapat lebih ditingkatkan guna perbaikan mutu mengajar dan bahkan peluang waktu untuk membaca buku lebih terbuka di rumah.
Sebagai tenaga profesional yang sangat menentukan jatuh bangunnya suatu bangsa dan negara, guru seharusnya menyadari bahwa tugas mereka sangat berat, bukan hanya sekedar menerima gaji setiap bulan atau mengumpulkan kelengkapan administrasi demi memenuhi angka kredit kenaikan pangkat atau golongan dengan mengabaikan tugas utama mengajar. Dengan kesadaran itu diharapkan terlahir motivasi untuk meningkatkan kompetensi melalui self study. Kompetensi yang harus ditingkatkan menyangkut tiga kemampuan. Yaitu kompetensi personal, profesional, dan sosial. Ketiganya mempunyai peranan masing-masing yang menyatu dalam diri pribadi guru dalam dimensi kehidupan di rumah tangga , di sekolah dan di masyarakat.
Di sekolah, kompetensi personal akan menentukan simpatik tidaknya, akrab tidaknya guru dalam pandangan anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik sangat ditentukan sejauh mana tingkat kualitas kompetensi personal yang dimiliki oleh guru. Sering guru tak diacuhkan oleh anak didik, disebabkan guru sendiri mengambil jarak dengan anak didik. Cukup banyak anak didik yang tak mengenal gurunya dengan baik disebabkan guru sangat jarang duduk bersama-sama dengan anak didik diluar kelas pada waktu luang untuk membicarakan apa saja yang berhubungan dengan masalah pelajaran dan kesulitannya. Penampilan guru dari ujung rambut sampai ke ujung kaki tak pernah lepas dari pengamatan anak didik. Pembicaraan guru, perilaku guru, sikap guru dalam menilai sesuatu, kemampuan guru dalam memecahkan masalah, kedisiplinan guru, kepemimpinan guru, tanggung jawab guru, kejujuran guru, kreativitas guru, inisiatif guru dan bahkan cara guru berpakaian sekali pun tak pernah alpa dari penilaian anak didik. Semua itu disadari atau tidak oleh guru akan menjadi contoh bagi anak didik. Tetapi tak mustahil menjadi topik pembicaraan di kalangan anak didik.
Secara pribadi mungkin guru telah siap menjadi guru. Tetapi itu belum cukup tanpa ditopang dengan kompetensi profesional. Menjadi guru bukan hanya sekedar tampil di kelas, di depan sejumlah anak didik, lalu memberikan pelajaran apa adanya, tanpa melakukan langkah-langkah yang strategis. Bahan pelajaran telah disampaikan. Mengerti tidaknya anak didik terhadap bahan pelajaran yang diberikan itu tak menjadi soal. Inilah sikap yang tidak profesional yang membodohi anak didik. Tetapi supaya kegagalan pengajaran tertutupi dilakukan rekayasa nilai dengan dalil kasihan bila anak didik mendapat nilai rendah. Inilah kebodohan guru yang miskin idealisme. Sangat jarang ditemukan anak didik yang membodohi gurunya. Tetapi jangan disangkal masih ada oknum guru yang membodohi anak didiknya dengan kemunafikan nilai. Penempatan kasi sayang yang tidak pada tempatnya. Mutu terabaikan demi sebuah “harga diri” malu dikatakan tak pandai mengajar di kelas.
Tak jarang guru yang profesional terjebak pada perangkap sikap tinggi hati. Tidak mau bergaul kecuali dengan mereka-mereka yang seprofesi. Tidak mau bekerja sama bila hanya menguntungkan orang lain. Tak sudi duduk bersama-sama dengan anak didik di waktu luang disebabkan takut tak dihormati oleh anak didik. Dalam musyawarah ingin menang sendiri dan sangat berat menerima pendapat orang lain yang mengandung kebenaran. Beginilah sikap guru yang kurang kompetensi sosial, suatu sikap yang sangat merugikan anak didik yang sedang mencari “kebaikan” dari guru.













                      














BAB III
PENUTUP

A.           Kesimpulan

B.            Saran
Alhamdullilahirabbilalamin, demikianlah makala kami yang kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah ini. Kami berharap bagi para pembaca yang budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini sehingga penulisan makalah bisa lebih baik lagi  di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya dan juga bagi para pembaca yang budiman pada umumnya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar