BAB II
PEMBAHASAN
A.
Faktor Lingkungan
Lingkungan merupakan bagian dari
kehidupan anak didik. Dalam lingkunganlah anak didik hidup dan berinteraksi
dalam mata rantai kehidupan yang disebut ekosistem. Saling ketergantungan
antara lingkungan biotik dan abiotik tidak dapat dihindari. Itulah hukum alam
yang harus dihadapi oleh anak didik sebagai mahluk hidup yang tergolong
kelompok biotik. Selama hidup anak didik tidak bisa menghindari diri dari
lingkungan sosial budaya. Interaksi dari kedua lingkungan yang berbeda ini
selalu terjadi dalam mengisi kehidupan anak didik. Keduanya mempunyai pengaruh
cukup signifikan terhadap belajar anak didik di sekolah. Oleh karena kedua lingkungan
ini akan dibahas satu demi satu dalam uraian berikut.
1.
Lingkungan Alami
Lingkungan hidup
adalah lingkungan tempat tinggal anak didik hidup dan berusaha di dalamnya.
Pencemaran lingkungan hidup merupakan malapetaka bagi anak didik yang hidup di
dalamnya. Udara yang tercemar merupakan polusi yang dapat mengganggu
pernafasan. Udara yang terlalu dingin menyebabkan anak didik kedinginan. Suhu
udara yang terlalu panas menyebabkan anak didik kepanasan, pengap, dan tidak
betah tinggal di dalamnya. Oleh karena itu, keadaan suhu dan kelembapan udara
berpengaruh terhadap belajar anak didik di sekolah. Belajar pada keadaan udara
yang segar akan lebih baik hasilnya daripada belajar dalam keadaan udara yang
panas dan pengap. Berdasarkan kenyataan yang demikian, orang cenderung
berpendapat bahwa belajar dipagi hari akan lebih baik hasilnya daripada belajar
pada sore hari. Kesejukan udara dan ketenangan suasana kelas diakui sebagai
kondisi lingkungan kelas yang kondusif untuk terlaksananya kegiatan belajar
mengajar yang menyenangkan .
Lingkungan sekolah yang baik adalah
lingkungan sekolahyang di dalamnya dihiasi dengan tanaman/pepohonan yang
dipelihara dengan baik. Apotik hidup yang mengelompokkan dengan baik dan rapi
sebagai laboratorium alam bagi anak didik. Sejumlah kursi dan meja belajar
teratur rapi yang ditempatkan di bawah pohon-pohon tertentu agar anak didik
dapat belajar mandiri diluar kelas dan berinteraksi dengan lingkungan.
Kesejukan lingkungan membuat anak didik betah tinggal berlama-lama di dalamnya.
Begitulah lingkungan sekolah yang dikehendaki. Bukan lingkungan sekolah yang
gersang, pengap, tandus dan panas yang berkepanjangan. Oleh karena itu,
pembangunan sekolah sebaiknya berwawasan lingkungan, bukan memusuhi lingkungan.
Pengalaman telah banyak membuktikan
bagaimana panasnya lingkungan kelas, di mana suatu sekolah yang miskin tanaman
atau pepohonan di sekitarnya. Anak didik gelisah hati untuk keluar kelas lebih
besar dari pada mengikuti pelajaran di dalam kelas. Daya konsentrasi menurun
akibat suhu udara yang panas. Daya serap semakin melemah akibat kelelahan yang
tak terbendung.
2.
Lingkungan Sosial Budaya
Pendapat yang
tak dapat disangkal adalah mereka yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk homo socius. Semacam mahluk yang
cenderung untuk hidup bersama satu sama lainnya. Hidup dalam kebersamaan dan
saling membutuhkan akan melahirkan interaksi sosial. Saling memberi dan saling
menerima merupakan kegiatan yang selalu ada dalam kehidupan sosial. Berbicara,
bersenda gurau, memberi nasehat, dan bergotong royong merupakan interaksi
sosial dalam tatanan kehidupan bermasyarakat.
Sebagai anggota masyarakat, anak
didik tidak bisa melepaskan diri dari ikatan sosial. Sistem sosial yang
terbentuk mengikat perilaku anak didik untuk tunduk pada norma-norma sosial,
susila, dan hukum yang berlaku dalam masyarakat. Demikian juga halnya di
sekolah. Ketika anak didik berada di sekolah, maka dia berada dalam sistem
sosial di sekolah. Peraturan dan tata tertib sekolah harus anak didik taati.
Pelanggaran yang di lakukan oleh anak didik akan dikenakan sanksi sesuai dengan
jenis dan berat ringannya pelanggaran.
Lahirnya peraturan sekolah bertujuan untuk mengatur dan membentuk prilaku anak
didik yang menunjang keberhasilan belajar di sekolah.
Lingkungan sosial budaya di luar
sekolah ternyata sisi kehidupan yang mendatang problem tersendiri bagi
kehidupan anak didik di sekolah. Pembangunan gedung sekolah yang tak jauh dari
hiruk pikuk lalu lintas menimbulkan kegaduhan suasana kelas. Pabrik-pabrik yang
didirikan di sekitar sekolah dapat menimbulkan kebisingan di dalam kelas.
Keramaian sayup-sayup terdengar oleh anak didik di dalam kelas. Bagaimana anak
didik tidak berkonsentrasi dengan baik bila berbagai gangguan itu selalu
terjadi di sekitar anak didik. Jangankan berbagai gangguan dari peristiwa di
luar sekolah, ada seseorang yang hilir mudik di sekitar anak pun, dia tak mampu
berkonsentrasi dengan baik. Bercakap cakap di sekitar anak yang sedang belajar,
juga dapat membuyarkan konsentrasinya dalam belajar. Suara bising dari knalpot
kendaraan bermotor tak jarang mengejutkan anak didik yang sedang berkonsentrasi
menerima materi pelajaran dari guru. Representasi sesuatu dalam wujud potret
atau tulisan diakui dapat mengganggu kegiatan belajar anak didik mengingat
pengaruh yang kurang menguntungkan dari lingkungan pabrik, pasar dan arus lalu
lintas tentu akan sangat bijaksana bila pembangunan gedung sekolah di tempat
yang jauh dari lingkungan pabrik, pasar, lalu lintas dan sebagainya.
B.
Faktor Instrumental
Setiap sekolah
mempunyai tujuan yang akan dicapai. Tujuan tentu saja pada tingkat kelembagaan.
Dalam rangka melicinkan ke arah itu diperlukan seperangkat kelengkapan dalam
berbagai bentuk dan jenisnya. Semuanya dapat diperdayagunakan menurut fungsi
masing-masing kelengkapan sekolah. Kurikulum dapat dipakai oleh guru dalam
merencanakan program pengajaran. Program sekolah dapat dijadikan acuan untuk
meningkatkan kualitas belajar mengajar. Sarana dan fasilitas yang tersedia
harus di manfaatkan sebaik-baiknya agar berdaya guna dan berhasil guna bagi
kemajuan belajar anak didik di sekolah.
1.
Kurikulum
Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan
unsur substansi dalam pendidikan. Tanpa kurikulum kegiatan belajar mengajar
tidak dapat berlangsung, sebab materi apa yang harus guru sampaikan dalam suatu
pertemuan kelas, belum guru programkan sebelumnya. Itulah sebabnya , untuk
semua mata pelajaran, setiap guru memiliki kurikulum untuk mata pelajaran yang
dipegang dan diajarkan kepada anak didik. Setiap guru harus mempelajari dan
menjabarkan isi kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas
sasarannya. Sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat
keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
Muatan kurikulum akan mempengaruhi
intensif dan frekuensi belajar anak didik. Seorang guru terpaksa menjejelkan
sejumlah bahan pelajaran kepada anak didik dalam waktu yang masih sedikit
tersisa, karena ingin mencapai target kurikulum, akan memaksa anak didik
belajar dengan keras tanpa mengenal lelah. Padahal anak didik sudah lelah
belajar ketika itu. Tentu saja hasil belajar yang demikian kurang memuaskan dan
cenderung mengecewakan. Guru akan mendapatkan hasil belajar anak didik di bawah
standar minimum. Hal ini di sebabkan telah terjadi proses belajar yang kurang
wajar pada diri setiap anak didik. Pemadatan kurikulum dengan alokasi waktu
yang disediakan relatif sedikit secara psikologi – disadari atau tidak –
mengiring guru pada pilihan untuk melaksanakan percepatan belajar anak didik
untuk mencapai target kurikulum. Tentang penguasaan anak didik terhadap bahan
pelajaran tidak menjadi soal, yang penting target kurikulum telah tercapai. Itu
berarti kewajiban mengajar sudah selesai. Sungguh hal ini tidak harus terjadi
bila ingin meningkatkan kualitas belajar mengajar
Untuk mencapai target penguasaan
kurikulum oleh anak didik terkadang dirasakan begitu sukar. Faktor sejarah
pendidikan masa lalu yang menjadi akar permasalahannya. Sebelum melanjutkan
sekolah, anak didik telah di didik dalam lingkungan sekolah dengan sistem
pendidikan yang kurang baik, maka anak didik dapat mengalami kesukaran untuk
beradabtasi dengan lingkungan sekolah yang baru. Ada mata pelajaran tertentu
yang sangat sukar untuk diserap dan dicerna oleh anak didik. Boleh jadi mata
pelajaran itu sangat dibenci oleh anak didik karena sesuatu hal. Guru tidak
dapat banyak berharap kepada anak didik seperti ini untuk mencapai target
penguasaan kurikulum. Jadi, kurikulum diakui dapat mempengaruhi proses dan
hasil belajar anak didik di sekolah.
2.
Program
Setiap sekolah mempunyai
program pendidikan. Program pendidikan disusun untuk dijalankan demi kemajuan
pendidikan. Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya
program pendidikan yang dirancang. Program pendidikan disusun berdasarkan
potensi sekolah yang tersedia, baik tenaga, finansial, dan sarana prasarana.
Bervariasinya potensi yang tesedia
melahirkan program pendidikan yang berlainan untuk setiap sekoalh. Untuk
program pendidikan yang bersifat umum masih terdapat persamaan, tetapi untuk
penjabaran program pendidikan menjadi bagian-bagian program kecil – bagian dan
subbagian – ada perbedaan. Tenaga , finansial, dan sarana prasarana merupakan
biang dari perbedaan itu.
Dari perbedaan
program pendidikan di atas tidak dapat dihindari adanya perbedaan kualitas
pengajaran. Kualitas pengajaran antara sekolah yang kekurangan guru dan sekolah
yang memiliki guru yang lengkap berbeda.
Sekolah yang tidak kekurangan tentu lebih baik kualitas pengajarannya dari pada
sekolah yang kekurangan guru. Karena tidak ada mata pelajaran yang terbengkalai
karena ketiadaan guru. Apalagi bila mata pelajaran yang dipegang guru itu
sesuai latar belakang pendidikannya. Setiap guru yang memegang mata pelajaran
itu mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk membina dan membimbing setiap anak
didik – secara individual atau berkelompok – agar mencapai prestasi optimal
dalam belajar.
Program
bimbingan dan penyuluhan mempunyai andil yang besar dalam keberhasilan belajar
anak didik di sekolah. Tidak semua anak didik sepi dari masalah kesulitan
belajar. Bervariasinya nilai kuantitatif di dalam rapor sebagai bukti bahwa
tingkat penguasaan bahan pelajaran oleh anak didik yang bermacam-macam. Bantuan
mutlak diberikan anak didik yang bermsalah agar mereka tenang dan bergairah
dalam belajar. Ketiadaan tenaga bimbingan dan penyuluhan tidak menjadi alasan
untuk tidak memberikan bantuan dalam usaha mengeluarkan anak didik dari
kesulitan belajar. Wali kelas atau dewan guru dapat berperan sebagai penyuluhan
yang memberikan penyuluhan bagaimana cara mengatasi kesulitan belajar dan
bagaimana cara belajar yang baik dan benar kepada anak didik.
Program
pengajaran yang guru buat akan mempengaruhi kemana proses belajar itu
berlangsung. Gaya belajar anak didik diiringi ke suatu aktivitas belajar yang
menunjang keberhasilan program pengajaran yang dibuat oleh guru. Penyimpangan
perilaku anak didik dari aktivitas belajar dapat menghambat keberhasilan
program pengajaran yang dibuat oleh guru. Iotu berarti guru tidak berhasil
membelajarkan anak didik. Akibatnya, anak didik tidak menguasai bahan pelajarn
yang diberikan itu. Program pengajaran yang dibuat tidak hanya berguna bagi
guru, tetapi juga bagi anak didik. Bagi guru dapat menyeleksi perbuatan sendiri
dan kata-kata atau kalimat yang dapat menunjang tercapainya tujuan pengajaran.
Bagi anak didik dapat memilih bahan pelajaran atau kegiatan yang menunjang ke
arah penguasaan materi se efektif dan se efisien mungkin
3.
Sarana dan Prasarana
Sarana mempunyai
arti penting dalam pendidikan. Gedung sekolah misalnya sebagai tempat yang
strategis bagi berlangsungnya kegiatan belajar mengajar di sekolah. Salah satu
persyaratan membuat suatu sekolah adalah pemilikan gedung sekolah yang di
dalamnya ada ruang kelas , ruang kepala sekolah, ruang dewan guru,ruang
perpustakaan, ruang BP, ruang tata usaha, autorium, dan halaman sekolah yang
memadai. Semua bertujuan untuk memberikan kemudahan pelayanan anak didik.
Suatu sekolah yang kekurangan ruang
kelas, sementara jumlah anak didik yang dimiliki dalam jumlah yang banyak
melebihi daya tampung kelas, akan banyak menemukan masalah. Kegiatan belajar
mengajar berlangsung kurang kondusif. Pengelolaan kelas kurang efektif. Konflik
antar anak didik sukar dihindari. Penempatan anak didik secara proposional
sering terabaikan. Pertimbangan material dengan menerima anak didik yang masuk
dalam jumlah yang banyak, melebihi kapasitas kelas adalah kebijakan yang
cenderung mengabaikan aspek kualitas pendidikan. Hal ini harus dihindari bila
ingin bersaing dalam peningkatan mutu pendidikan.
Gedung sekolah
yang berada di dua tempat yang berjauhan cenderung sukar dikelola. Pengawasan
sukar dilaksanakan dengan efektif. Kepala sekolah harus bergilir waktu untuk
mengunjungi sekolah binaanya yang berada di dua tempat itu. Guru yang akan
mengajar merasa kurang tenang karena harus diburu-buru waktu. Pembagian jadwal
mengajar sukar disusun karena penyusunannya harus mempertimbangkan jauh
dekatnya sekolah yang harus dituju. Belum lagi untuk melayani keinginan guru
tertentu yang hanya ingin mengajar pada kelas-kelas tertentu dan tidak ingin ke
sana ke mari.
Selain masalah sarana, fasilitas
juga kelengkapan sekolah yang sama sekali tidak bisa diabaikan. Lengkap
tidaknya buku-buku di perpustakaan ikut menentukan kualitas suatu sekolah.
Perpustakaan sekolah adalah laboratorium ilmu. Tempat ini harus menjadi
“sahabat karib” anak didik. Di sekolah, kapan dan di mana ada waktu luang anak
didik harus datang ke sana untuk membaca buku atau meminjam buku demi
keberhasilan belajar.
Buku pegangan
anak didik harus legkap sebagai penunjang kegiatan belajar. Dengan demikian
buku sendiri anak didik dapat membaca sendiri kapan dan dimana pun ada
kesempatan , entah di sekolah, entah di rumah, entah di bawah pohon di
pekarangan sekolah dan sebagainya. Pihak sekolah dapat membantu anak didik
dengan meminjami anak sejumlah buku yang sesuai dengan kurikulum. Dengan
memberi fasilitas belajar tersebutdiharapkan kegiatan belajar anak didik lebih
bergairah. Tidak ada alasan bagi anak didik untuk tidak berprestasi dalam
belajar karena bukunya sudah diinjami oleh pihak sekolah. Kecuali karena faktor
lain bukan karena ketiadaan buku.
Fasilitas
belajar merupakan kelengkapan mengajar guru yang harus dimiliki oleh sekolah.
Ini kebutuhan guru yang tak bisa dianggap ringan. Guru harus memiliki buku
pegangan dan buku penunjang agar wawasan guru tidak sempit. Buku
kependidikan/keguruan perlu dibaca atau dimiliki oleh guru dalam rangka
peningkatan kompetensi keguruan. Alat peraga yang guru perlukan harus sudah
tersedia di sekolah agar guru sewaktu-waktu dapat menggunakannya sesuai dengan
metode mengajar yang akan dipakai dalam penyampaian bahan pelajaran di kelas.
Lengkap tidaknya fasilitas sekolah membuka peluang bagi guru untuk lebih
kreatif mengajar. Guru dapat membimbing anak didik melakukan percobaan di
laboratorium. Alat peraga dapat guru gunakan untuk membantu menjelaskan suatu
proses atau cara kerja suatu mesin, yang tak dapat diwakilkan melalui kata-kata
atau kalimat. Demikianlah, fasilitas mengajar sangat membantu guru dalam
menunaikan tugasnya mengajar di sekolah .
Kualitas anak
didik yang berada dari sekolah model pasti berbeda dengan kualitas anak didik
yang berasal dari sekolah biasa. Hal ini disebabkan di sekolah model segala
sesuatunya diusahakan serba lengkap. Dari tahun ke tahun tidak hanya tenaga
guru yang selalu mendapat prioritas penambahan, tetapi yang mendapat pengawasan
yang ekstra ketat. Bahkan proyek pembangunan gedung sekolah pun, sekolah model
selalu didahulukan dari sekolah biasa.
Dari uraian
diatas tentu tidak dapat disangkal bahwa sarana dan fasilitas mempengaruhi
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Anak didik tentu dapat belajar lebih baik
dan menyenangkan bila suatu sekolah dapat memenuhi segala kebutuhan belajar
anak didik. Masalah yang anak didik hadapi dalam belajar relatif kecil. Hasil
belajar anak didik tentu akan lebih baik.
4.
Guru
Guru merupakan
unsur manusiawi dalam pendidikan. Kehadiran guru mutlak diperlukan di dalamnya.
Kalau hanya ada anak didik, tetapi guru tidak ada , maka tidak akan terjadi
kegiatan belajar mengajar di sekolah. Jangankan ketiadaan guru, kekurangan guru
saja sudah merupakan masalah. Mata pelajaran tertentu pasti kekosongan guru
yang dapat memegangnya. Itu berarti mata pelajaran itu tidak dapat diterima
anak didik, karena tidak ada guru yang memberikan pelajaran untuk mata
pelajaran itu. Kondisi kekurangan guru seperti ini sering ditemukan di lembaga
pendidikan yang ada di daerah. Sehingga tidak jarang ditemukan seorang guru
memegang lebih dari satu mata pelajaran. Akibatnya, jumlah jam mengajar dalam
seminggu melebihi delapan belas jam wajib mengajar. Dari segi materi memang
menguntungkan guru tetapi merugikan anak didik.
Tidak gampang
untuk menuntut guru lebih profesional, karena semuanya terpulang dari sikap
mental guru. Guru yang profesional lebih mengedepankan kualitas pengajaran
daripada materiil oriented. Kualitas kerja lebih diutamakan daripada mengambil
mata pelajaran yang bukan bidang keahliannya. Tidak ada rotan akar pun jadi,
bukanlah ungkapan yang tepat untuk menyerah pada keadaan, bila masih bisa
diusahakan, kecuali kalau memang penganut “nepotisme” tradisional. Tapi ada
juga kepala sekolah yang tidak “nepotisme” karena kekurangan guru dan karena
sulit mencari tenaga tambahan, terpaksa mengambil kebijakan dengan menyuruh guru
memegang mata pelajaran sampai dua atau tiga materi. Mutu pengajaran tidak
dipersoalkan, yang penting kekurangan guru dapat dipecahkan.
Persoalan guru
memang menyangkut dimensi yang luas, tidak hanya bersentuhan dengan masalah di
luar dirinya seperti mampu berhubungan dengan baik dengan warga masyarakat di
luar sekolah dan berhubungan dengan anak didiknya kapan dan di mana pun dia
berada, tetapi juga masalah yang berkaitan dengan diri pribadinya. Mampukan dia
menjadi guru yang baik atau tidak? Itulah yang menjadi persoalan. Menurut M.I
Soelaeman (1985 : 45) untuk menjadi guru yang baik itu tidak dapat diandalkan
kepada bakat ataupun hasrat (emansipasi) ataupun lingkungan belaka, namun harus
disertai kegiatan studi dan latihan serta praktek/pengalaman yang memadai agar
muncul sikap guru yang diinginkan sehingga melahirkan kegairahan kerja yang
menyenangkan. Oleh karena itu, jadilah guru yang baik atau jangan jadi guru
sama sekali. Adalah moto yang dapat dijadikan sebagai renungan.
Pendapat M.I
Soelaeman tersebut diatas cukup beralasan dalam hal ini. Karena memang yang
mempengaruhi hasil belajar anak didik tidak hanya latar belakang
pendidikan/pengalaman mengajar, tetapi juga dipengaruhi oleh sikap mental guru
dalam memandang tugas yang diembannya. Seorang guru yang memandang profesi
keguruan sebagai panggilan jiwa akan melahirkan perbuatan untuk melayani
kebutuhan anak didik dengan segenap jiwa-raga. Kerawanan hubungan guru dengan
anak didik yang di risaukan selama ini tidak lagi menjadi masalah aktual yang berkepentingan.
Yang terjadi adalah kemesraan komunikasi antara guru dan anak didik. Itulah
pesan-pesan moral yang ingin diwujudkan dari motto Ki Hajar Dewantara yang
berbunyi: tut wuri handayani ing madya
mangun karso, ing ngarso sung tulodo. Mengikuti dari belakang, memberi daya
di tengah membina kemauannya, di depan memberi teladan.
Secara formal
jabatan guru dipandang sebagai jabatan fungsional. Suatu jabatan yang tidak
dipengaruhi oleh lintas struktural. Ke manapun guru dimutasikan tidak akan
mempengaruhi ke fungsional jabatannya itu. Status jabatan guru yang demikian
menuntut guru untuk lebih profesional. Persepsi orang pun digiring untuk
memandang guru sebagai tenaga profesional yang harus diakui keberadaannya.
Kesejahteraan sebagai pegawai negeri dalam mengabdikan diri kepada bangsa dan
negara harus mendapatkan perhatian yang proiritas, sehingga mereka dapat
diharapkan lebih berkonsentrasi pada tugas yang diemban dan tidak lagi
melakukan pekerjaan sampingan yang berpotensi menyudutkan dan melecehkan jabatan
guru yang dihormati itu. Peduli guru yang disalah artikan bahwa guru sebagai
pengemis yang sangat mengharap belas kasihan dan uluran tangan orang lain
sangat mencoreng harkat dan martabat guru. Peduli pemerintah terhadap guru
harus dimanifestasikan dalam bentuk kenaikan gaji guru, sehingga ekonomi rumah
tangga guru dapat membaik. Dunia perkreditan yang selama ini sangat akrab
dengan guru sedikit demi sedikit dijauhkan.
Perbaikan
ekonomi rumah tangga guru mempunyai arti yang sangat penting bagi guru. Guru
sudah merasa cukup menikmati gaji yang ada. Guru tidak perlu merasa khawatir
akan kekurangan keuangan setiap bulan. Dengan uang gaji sangat cukup untuk
memenuhi berbagai kebutuhan hidup sekeluarga. Melaksanakan tugas mengajar
dengan tenang tanpa dirongrong kepelikan ekonomi. Persiapan mengajar dapat
lebih ditingkatkan guna perbaikan mutu mengajar dan bahkan peluang waktu untuk
membaca buku lebih terbuka di rumah.
Sebagai tenaga
profesional yang sangat menentukan jatuh bangunnya suatu bangsa dan negara, guru
seharusnya menyadari bahwa tugas mereka sangat berat, bukan hanya sekedar
menerima gaji setiap bulan atau mengumpulkan kelengkapan administrasi demi
memenuhi angka kredit kenaikan pangkat atau golongan dengan mengabaikan tugas
utama mengajar. Dengan kesadaran itu diharapkan terlahir motivasi untuk
meningkatkan kompetensi melalui self
study. Kompetensi yang harus ditingkatkan menyangkut tiga kemampuan. Yaitu
kompetensi personal, profesional, dan sosial. Ketiganya mempunyai peranan
masing-masing yang menyatu dalam diri pribadi guru dalam dimensi kehidupan di
rumah tangga , di sekolah dan di masyarakat.
Di sekolah,
kompetensi personal akan menentukan simpatik tidaknya, akrab tidaknya guru
dalam pandangan anak didik. Kerawanan hubungan guru dengan anak didik sangat
ditentukan sejauh mana tingkat kualitas kompetensi personal yang dimiliki oleh
guru. Sering guru tak diacuhkan oleh anak didik, disebabkan guru sendiri
mengambil jarak dengan anak didik. Cukup banyak anak didik yang tak mengenal
gurunya dengan baik disebabkan guru sangat jarang duduk bersama-sama dengan
anak didik diluar kelas pada waktu luang untuk membicarakan apa saja yang
berhubungan dengan masalah pelajaran dan kesulitannya. Penampilan guru dari
ujung rambut sampai ke ujung kaki tak pernah lepas dari pengamatan anak didik.
Pembicaraan guru, perilaku guru, sikap guru dalam menilai sesuatu, kemampuan
guru dalam memecahkan masalah, kedisiplinan guru, kepemimpinan guru, tanggung
jawab guru, kejujuran guru, kreativitas guru, inisiatif guru dan bahkan cara
guru berpakaian sekali pun tak pernah alpa dari penilaian anak didik. Semua itu
disadari atau tidak oleh guru akan menjadi contoh bagi anak didik. Tetapi tak
mustahil menjadi topik pembicaraan di kalangan anak didik.
Secara pribadi
mungkin guru telah siap menjadi guru. Tetapi itu belum cukup tanpa ditopang
dengan kompetensi profesional. Menjadi guru bukan hanya sekedar tampil di
kelas, di depan sejumlah anak didik, lalu memberikan pelajaran apa adanya,
tanpa melakukan langkah-langkah yang strategis. Bahan pelajaran telah
disampaikan. Mengerti tidaknya anak didik terhadap bahan pelajaran yang
diberikan itu tak menjadi soal. Inilah sikap yang tidak profesional yang
membodohi anak didik. Tetapi supaya kegagalan pengajaran tertutupi dilakukan
rekayasa nilai dengan dalil kasihan bila anak didik mendapat nilai rendah.
Inilah kebodohan guru yang miskin idealisme. Sangat jarang ditemukan anak didik
yang membodohi gurunya. Tetapi jangan disangkal masih ada oknum guru yang
membodohi anak didiknya dengan kemunafikan nilai. Penempatan kasi sayang yang
tidak pada tempatnya. Mutu terabaikan demi sebuah “harga diri” malu dikatakan
tak pandai mengajar di kelas.
Tak jarang guru
yang profesional terjebak pada perangkap sikap tinggi hati. Tidak mau bergaul
kecuali dengan mereka-mereka yang seprofesi. Tidak mau bekerja sama bila hanya
menguntungkan orang lain. Tak sudi duduk bersama-sama dengan anak didik di
waktu luang disebabkan takut tak dihormati oleh anak didik. Dalam musyawarah
ingin menang sendiri dan sangat berat menerima pendapat orang lain yang
mengandung kebenaran. Beginilah sikap guru yang kurang kompetensi sosial, suatu
sikap yang sangat merugikan anak didik yang sedang mencari “kebaikan” dari
guru.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
B.
Saran
Alhamdullilahirabbilalamin,
demikianlah makala kami yang kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok
bahasan dalam makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya,
kerena terbatasnya pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada
hubungannya dengan judul makalah ini. Kami berharap bagi para pembaca yang
budiman dapat memberikan kritik dan saran yang membangun kepada kami demi
sempurnanya makalah ini sehingga penulisan makalah bisa lebih baik lagi di kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga
makalah ini berguna bagi penulis pada khususnya dan juga bagi para pembaca yang
budiman pada umumnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar