BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Asy`ariyah adalah sebuah paham
akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan al-Asy`ariy yang masih
cucunya (keturunan)dari seorang sahabat Rasulullah SAW, Abi Musa
al-Asy’ari,yang dijadikan utusan perdamaian dalam peperangan antara Saiyidana
Ali dengan Muawiyah pada peristiwa tahkim[1].Kelompok
Asy’ariyah menisbatkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri
madzhab Asy’ariyah.
Kita sekalian sebagai muslim mayoritas di negeri ini dan
notabene perpaham Ahlussunnah wal Jama’ah, sudah sewajarnya berdiri digaris
terdepan untuk membangun negeri tercinta. Dan satu sumber api semangat yang tak
boleh dilupakan ialah kemantapan akidah di dada kita. Selanjutnya, satu upaya
rasional guna memantapkan akidah itu ialah mendalami pemikiran kalam yang telah
dicetuskan oleh para pendiri aliran kalam Ahlussunnah wal Jama’ah itu sendiri
serta dikembang dan sebarkan oleh para tokoh dan ulama hingga dewasa ini. Dan
pada makalah ini, kami sebagai pemakalah akan membahas tentang pokok-pokok
pemikiran yang ada dalam aliran Asy’ariyah dan tanggapannya terhadap
ajaran-ajaran yang lain.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan
masalah pada makalah ini ditunjukan untuk merumuskan permasalahan yang akan
dibahas pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas
dalam makalah ini, sebagai berikut :
- Sejarah berdiri dan berkembangnya aliran Asy’ariyah
- Pokok-pokok ajaran Asy’ariyah
- Istilah Asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jamaah
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan dalam makalah ditujukan untuk mencari tujuan dari dibahasnya
pembahasan atas rumusan masalah dalam makalah ini. Adapun tujuan penulisan
makalah, sebagai berikut :
1. Menceritakan sejarah berdiri dan
berkembangnya aliran Asy’ariyah
2. Menerangkan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah
3. Menjelaskan istilah Asy’ariyah dan ahlu sunnah
wal jamaah
BAB
II
PEMBAHASAN
A. SEJARAH BERDIRI
DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Riwayat singkat Asy’ari
Asy`ariyah adalah sebuah
paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya
ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin
Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang
sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga
dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M
di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru
kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid
Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua
Muktazilah di Bashrah.
Menurut Ibn Asakir, ayah
al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadis, iawafat
ketika al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang
sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu
al-Asy’ari, sepeninggal suaminya, ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh
Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w.303 H/915 M), ayah kandung dari
Hasyim al-Jubba’i (w.321 H/932 M).Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah
berkat didikan ayah tirinya itu.Ia sering menggantikan al-Jubba’i dalam
perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah, selain itu ia banyak menulis buku
yang membela aliran Mu’tazilah.[2]
Al-Asy’ari
yang semula berpaham Mu’tazilah hingga sekitar usia 40 tahun akhirnya ia mengumumkan
dihadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa ia telah meninggalkan faham Mu’tazilah berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan
oleh sebagian sumber bahwa Abu al-Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal
yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah. Sumber lain
menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan al-Jubba’i
seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).[3]
Sedangkan menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan
al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebanyak tiga kali. Di dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW memperingatkan agar
meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari
beliau[4].
Kejadian ini
terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan,
yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketiga pada sepuluh
hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari
Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui
manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan
dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap
mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam
kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin
Hambal.
Sejak itu, Asy’ari gigih
menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi
Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jama’ah. Pengikut
al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah[5].
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian
Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama
ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para
shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.
2. Pemikiran Asy’ari dalam masalah akidah
Ada tiga
periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam
masalah akidah
yaitu :
a. Periode pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah.
Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira
selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah
Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b. Periode kedua Beliau
berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang
selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung
dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari
itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik
balik pemikiran akidah muktazilah.
Di antara
pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah
lewat logika akal, yaitu:
-Al-Hayah (hidup)
-As-Sama' (mendengar) -
Al-Ilmu (ilmu)
-Al-Bashar (melihat)
- Al-Iradah (berkehendak) - Al-Kalam
(berbicara) - Al-Qudrah
(berketetapan) Sedangkan
sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan,
kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau
saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau
menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha
Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.
c. Periode ketiga
Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi
semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya
diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. - takyif: menanyakan bagaimana
rupa wajah, tangan dan kaki Allah - ta'thil: menolak bahwa Allah punya
wajah, tangan dan kaki - tamtsil:
menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu - tahrif : menyimpangkan makna
wajah, tangan dan kaki allah dengan makna lainnya.
Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an
Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya.
Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.
3.
Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab
tantangan akidah dengan menggunakan ratsio telah menjadi beban. Karena pada
waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat
yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan
tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting
yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam.
Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan
antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari
ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada
saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka
begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak
Tuhan dikompromikan.
4.
Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Asy’ariyah berkembang pesat mulai abad ke-11 M. Bersama
menyebarnya Tasawuf (sufi), pemahaman ini juga mendapat dukungan oleh para
penguasa di beberapa pemerintahan Islam. Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh
Dinasti
Gaznawi
di India pada abad 11-12 M yang menyebabkan pemahaman ini dapat menyebar dari
India, Pakistan, Afghanistan, hingga ke Indonesia.
Dinasti Seljuk pada abad 11-14 M. Khalifah Aip
Arsalan beserta Perdana menterinya, Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy’ariyah.
Sehingga pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang
sangat pesat utamanya melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah
baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur yang didirikan oleh Nizam
al-Mulk. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di
dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan
Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi[6].
Juga didukung oleh sejumlah besar
ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode
akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini
adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.
B.
POKOK-POKOK AJARAN ASY’ARIYAH
Pada dasarnya paham al-Asy’ariah adalah
aliran yang berusaha mengambil sikap tengah antara dua kutub, akal
dan naql, antara kaum Salaf dengan Mu’tazilah.Atau
al-Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual,
sehingga al-Ghazali menyebutnya sebagai aliran al-Mutawassith (pertengahan).
Adapun pemikiran-pemikiran al-Asy’ari yang terpenting adalah antara lain:
1. Allah
dan Sifat-sifat-Nya
Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana
disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan ‘Ilmu,
berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat dan
seterusnya.Sifat-sifat Allah SWT itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan
dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.Sifat-sifat Allah berbeda
dengan dzat Allah SWT itu sendiri.
2. Kebebasan
Dalam Berkehendak Menurut
faham Asy’ariyah,Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan
manusia,sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib).Untuk
mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan
daya manusia.Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak
dijelaskan melalui teori Kasb;“yakni berbarengan perbuatan manusia
dengan kekuasaan Tuhan”, artinya jika manusia hendak mengadakan perbuatannya,
maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan
perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak
menciptakannya.
Konsep Kasb ini adalah perpaduan antara konsep teologi
Qadariyah dan Jabariyah.Qadariyah dengan konsep kehidupan manusia yang
tergantung kepada manusianya.Kemampuan (qudrah) dan usaha manusia itu
adalah sangat efektif.
Adapun
al-Kasb disini menurut Asy’ariyah mengandung arti keaktifan.Karena itu,
manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
3. Akal
dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk Walaupun al-Asy’ari dan
orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam
menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan
wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan
akal.Asy’ari berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban
mengetahui Tuhan.Manusia dapat mengetahui kewajibannya hanya melalui wahyu.
Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban
mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu. Menurut Asy’ari
baik dan buruk berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada
akal.
4. Qadimnya
Al-Qur’an
Pandangan Asy’ari tentang
al-Qur’an, sangat bertentangan dengan pandangan Mu’tazilah. Kalau Mu’tazilah
mengatakan bahwa al-Qur’an adalahhawadits (baru) karena ia
makhluk, maka menurut Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim. Hal ini
didasarkan pada surat an-Nahl;40:“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap
sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)”
maka jadilah ia.”[7]
5. Melihat
Allah
Al-Asy’ari mengatakan bahwa
setiap yang ada, pasti dapat dilihat. Oleh karena itu menurut i’tiqad kaum
Ahlussunnah wal Jama’ah (faham al-Asy’ariyah), Allah SWT dapat dilihat dengan
mata kepala manusia di akhirat kelak yaitu oleh hamba-hambanya yang saleh yang
dikaruniai nikmat melihat Tuhan. Dalil-dalil atas kepercayaan ini antara lain
firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23,yang artinya: “Wajah-wajah
orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat (memandang
Tuhannya)”.Dan juga terdapat dalam Kitab Hadis: “Dari Jarir bin
Abdillah, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Bahwasanya kamu akan melihat
Tuhan kamu senyata-nyatanya.” (HR. Imam Bukhari _ ( Sahih Bukhari Juz IV
hal.200 ).[8]
6. Keadilan
Allah Menurut
Asy’ari, keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya. Allah
tidak mempunyai kewajiban apapun. Allah tidak wajib memasukkan orang entah
itu kesurga ataupun ke neraka. Semua itu
adalah kehendak Allah mutlak. Jika Allah memasukkan seluruh manusia ke surga,
bukan berarti Allah tak adil, dan jika Allah memasukkan seluruh manusia ke
neraka, itu bukan berarti Allah zhalim.Allah adalah penguasa mutlak
segala-galanya dan tidak ada yang lebih kuasa. Allah dapat dan boleh melakukan
apa saja yang di kehendaki-Nya.
7. Kedudukan
Orang Berdosa Besar
Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah berpandangan yang sama bahwa
Allah SWT itu adil. Hanya saja mereka berbeda dalam memandang makna keadilan.Aliran
Mu’tazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar
tidak bertaubat dari dosanya, meskipun ia mempunyai iman dan keta’atan, tidak
akan keluar dari neraka. Sebaliknya,mengatakan siapa yang beriman kepada Allah
SWT dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang
dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
Adapun al-Asy’ari menolak ajaran menengah (manzilah bainal
manzilatain) yang dianut Mu’tazilah.Mengingat kenyataan bahwa iman
merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu
diantaranya.Jika tidak mukmin, berarti kafir. Oleh karena itu, al-Asy’ari
berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar dan meninggal dunia sebelum
sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada
diantara keduanya, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa
kemungkinan:
I. Ia
mendapat ampunan Allah SWT dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar
tersebut masuk surga
II. Ia
mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW
III. Allah
menghukum kepadanya dengan dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan dosa besar
yang dilakukannya, kemudian ia di masukkan ke surga.[9]
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas
menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianut
olehnya. Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari
pendapat Mu’tazilah.
C. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai
beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi
shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di
atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat. Dalam
pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya,
as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam
i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya,
kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah
Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka
(para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima'
(berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama
untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang
menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua
perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan
din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini
timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan
Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan
perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat
Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas,
yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun,
yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang
dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham
bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut
mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim,
berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk
yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini,
semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada
ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul
atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya
kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal
jamaah selalu dikaitkan pada kelompok paham teologi
Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah
Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa
madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh
Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan
Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan
Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam
hal-hal sebagai berikut:
1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman
yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan
Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa
dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan
Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan
oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan
Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu
semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah.
Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim.
Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu
makhluq
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan
Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban
tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama
mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir
dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu
berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain
6. Tentang Janji Tuhan Keduanya
sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala
kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat
7. Tentang Rupa
Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran
yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus
ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun
Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang
mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku
dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan
Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hasan Ayyub
menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur
Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan
di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa
Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut
disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa penggunaan
mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan
menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para
ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini.
Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab
Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
- Nama lengkap Asy’ari adalah Abdul Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ary keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ary salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M.
- Corak pemikiran Imam Al-Asy’ari seperti yang dilukiskan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Qur’an dan Hadits dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok) di samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada memeprkuat nas-nas tersebut.
- Pendapat-pendapatnya meliputi : Sifat Tuhan, kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia, melihat Tuhan pada hari Kiamat, dosa besar, dan keadilan.
B. SARAN
Demikianlah pembahasan makalah ini, yang karena keterbatasan
kami dalam memahami dan mendalami materinya_meskipun sudah semaksimal mungkin
segala kemampuan pemakalah kerahkan dalam proses penyusunan makalah ini_kami
hanya bisa menyajikan sekelumit dari banyaknya pembahasan tentang
“Al-Asy’ariyah”.
Akhir kata kami sebagai penyusun makalah ini
meminta ma’af bila ada kesalahan dan kekeliruan disana-sini, dan sudi kiranya
memberikan sumbang saran atau kritikkan yang sifatnya membangun dan memotifasi
demi kesempurnaan makalah ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum,
Studi Kritis Peristiwa Tahkim. (Bandung;Pustaka Setia,1999).
Ø Drs. H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu
Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Ø A.Hanafi,M.A,
Pengantar Theology Islam, Bandung; PT.Alhusna Zikra,1995
Ø Rosihon
Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet II, Bandung; CV.Pustaka Setia,2003
Ø Yusran
Asmuni, Ilmu Tauhid, Cet IV, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000
Ø Asy-Syahrastani, Muhammad bin 'Abdul Karim (2001).
"Al-Milal
wa al-Nihal:
Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam". Surabaya: PT. Bina Ilmu
Ø Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press,1972), hal.69
Ø Siradjuddin
Abbas, 40 Masalah Agama Jilid IV, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1993), Cet
XVI, hal.341
[1]. Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum,
Studi Kritis Peristiwa Tahkim. (Bandung;Pustaka Setia,1999), hal.43.
[2]. Drs. H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka
Setia, 1998), Cet. I, hal.179.
[4]
Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:CV.Pustaka Setia,2003),
Cet II, hal.120
[5]
Yusran
Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.
IV, hal.122
[6] Asy-Syahrastani, Muhammad bin 'Abdul Karim (2001).
"Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam
Sejarah Umat Islam". Surabaya: PT. Bina Ilmu
[7] Harun
Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan,
(Jakarta: UI Press,1972), hal.69
[8]
Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid IV, (Jakarta: Pustaka
Tarbiyah,1993), Cet XVI, hal.341
[9]
Drs. H.M.
Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000),
Cet.IV, hal.123-126
Tidak ada komentar:
Posting Komentar