Rabu, 21 Desember 2016

Makalah IAIN Aliran Pemikiran Kalam ASY’ARIYAH



BAB 1
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan al-Asy`ariy yang masih cucunya (keturunan)dari seorang sahabat Rasulullah SAW, Abi Musa al-Asy’ari,yang dijadikan utusan perdamaian dalam peperangan antara Saiyidana Ali dengan Muawiyah pada peristiwa tahkim[1].Kelompok Asy’ariyah menisbatkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Kita sekalian sebagai muslim mayoritas di negeri ini dan notabene perpaham Ahlussunnah wal Jama’ah, sudah sewajarnya berdiri digaris terdepan untuk membangun negeri tercinta. Dan satu sumber api semangat yang tak boleh dilupakan ialah kemantapan akidah di dada kita. Selanjutnya, satu upaya rasional guna memantapkan akidah itu ialah mendalami pemikiran kalam yang telah dicetuskan oleh para pendiri aliran kalam Ahlussunnah wal Jama’ah itu sendiri serta dikembang dan sebarkan oleh para tokoh dan ulama hingga dewasa ini. Dan pada makalah ini, kami sebagai pemakalah akan membahas tentang pokok-pokok pemikiran yang ada dalam aliran Asy’ariyah dan tanggapannya terhadap ajaran-ajaran yang lain.

                                                    




B.  RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah pada makalah ini ditunjukan untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini, sebagai berikut :

  1. Sejarah berdiri dan berkembangnya aliran Asy’ariyah
  2. Pokok-pokok ajaran Asy’ariyah
  3. Istilah Asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jamaah


C.  TUJUAN PENULISAN

Tujuan penulisan dalam makalah ditujukan untuk mencari tujuan dari dibahasnya pembahasan atas rumusan masalah dalam makalah ini. Adapun tujuan penulisan makalah, sebagai berikut :

1.      Menceritakan sejarah berdiri dan berkembangnya aliran Asy’ariyah
2.      Menerangkan pokok-pokok ajaran Asy’ariyah
3.      Menjelaskan istilah Asy’ariyah dan ahlu sunnah wal jamaah










BAB II
PEMBAHASAN

A.  SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH
1. Riwayat singkat Asy’ari
Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ariy. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah saw. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.
Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu kalam dari Al-Jubba’i, seorang ketua Muktazilah di Bashrah.
Menurut Ibn Asakir, ayah al-Asy’ari adalah seorang yang berpaham Ahlussunnah dan ahli hadis, iawafat ketika al-Asy’ari masih kecil. Sebelum wafat, ia berwasiat kepada seorang sahabatnya yang bernama Zakaria bin Yahya as-Saji agar mendidik al-Asy’ari. Ibu al-Asy’ari, sepeninggal suaminya, ibunya menikah lagi dengan seorang tokoh Mu’tazilah yang bernama Abu Ali al-Jubba’i (w.303 H/915 M), ayah kandung dari Hasyim al-Jubba’i (w.321 H/932 M).Al-Asy’ari kemudian menjadi tokoh Mu’tazilah berkat didikan ayah tirinya itu.Ia sering menggantikan al-Jubba’i dalam perdebatan menentang lawan-lawan Mu’tazilah, selain itu ia banyak menulis buku yang membela aliran Mu’tazilah.[2]
Al-Asy’ari yang semula berpaham Mu’tazilah hingga sekitar usia 40 tahun akhirnya ia mengumumkan dihadapan jama’ah masjid Bashrah bahwa ia telah meninggalkan faham Mu’tazilah berpindah menjadi Ahli Sunnah. Sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber bahwa Abu al-Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Mu’tazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan).[3]
Sedangkan menurut Ibn Asakir, yang melatar belakangi al-Asy’ari meninggalkan faham Mu’tazilah adalah pengakuan al-Asy’ari telah bermimpi bertemu Rasulullah SAW sebanyak tiga kali. Di dalam mimpinya itu, Rasulullah SAW memperingatkan agar meninggalkan faham Mu’tazilah dan membela faham yang telah diriwayatkan dari beliau[4]. Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketiga pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.
Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal.
Sejak itu, Asy’ari gigih menyebarluaskan paham barunya sehingga terbentuk mazhab baru dalam teologi Islam yang dikenal dengan nama Ahlussunnah wal jama’ah. Pengikut al-Asy’ari sendiri sering disebut pula Asy’ariyah[5].
Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikirian Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murjiah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, Sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

2. Pemikiran Asy’ari dalam masalah akidah
            Ada tiga periode dalam hidupnya yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah yaitu :
a.       Periode pertama                                                                                                          Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Muktazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Muktazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.
b.      Periode kedua                                                                                                                Beliau berbalik pikiran yang berseberangan paham dengan paham-paham Muktazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Muktazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah muktazilah.                                                                                                                   Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:                                                                     -Al-Hayah (hidup)                              -As-Sama' (mendengar)                                                                                   - Al-Ilmu (ilmu)                                   -Al-Bashar (melihat)                                                                                      - Al-Iradah (berkehendak)                  - Al-Kalam (berbicara)                                                                                                     - Al-Qudrah (berketetapan)                                                                                      Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.        
c.       Periode ketiga                                                                                                                  Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif.                     - takyif: menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah                - ta'thil: menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki                                  - tamtsil: menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu                 - tahrif : menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki allah dengan makna lainnya.                                                                                                   Pada periode ini beliau menulis kitabnya "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah." Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, menurut satu sumber sekitar tiga ratus.  
3. Sejarah Berdirinya Asy’ariyah
Pada masa berkembangnya ilmu kalam, kebutuhan untuk menjawab tantangan akidah dengan menggunakan ratsio telah menjadi beban. Karena pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam. Sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal.
Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli. Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Muktazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Muktazilah di mata Al-Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan—manusia, bahwa kekuasaan dan kehendak Tuhan dikompromikan.
4. Penyebaran Akidah Asy-'ariyah
Asy’ariyah berkembang pesat mulai abad ke-11 M. Bersama menyebarnya Tasawuf (sufi), pemahaman ini juga mendapat dukungan oleh para penguasa di beberapa pemerintahan Islam. Asy’ariyah dijadikan mazhab resmi oleh Dinasti Gaznawi di India pada abad 11-12 M yang menyebabkan pemahaman ini dapat menyebar dari India, Pakistan, Afghanistan, hingga ke Indonesia.
Dinasti Seljuk pada abad 11-14 M. Khalifah Aip Arsalan beserta Perdana menterinya, Nizam al-Mulk sangat mendukung aliran Asy’ariyah. Sehingga pada masa itu, penyebaran paham Asy’ariyah mengalami kemajuan yang sangat pesat utamanya melalui lembaga pendidikan bernama Madrasah Nizamiyah baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur yang didirikan oleh Nizam al-Mulk. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi[6].
Juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Al-Malikiyah periode akhir-akhir. Sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy-'ariyah ini adalah akidah yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.                                                                                               


B.  POKOK-POKOK AJARAN ASY’ARIYAH
Pada dasarnya paham al-Asy’ariah adalah aliran yang berusaha mengambil sikap tengah antara dua kutub, akal dan naqlantara kaum Salaf dengan Mu’tazilah.Atau al-Asy’ariah bercorak perpaduan antara pendekatan tekstual dan kontekstual, sehingga al-Ghazali menyebutnya sebagai aliran al-Mutawassith (pertengahan). Adapun pemikiran-pemikiran al-Asy’ari yang terpenting adalah antara lain:
1.      Allah dan Sifat-sifat-Nya                                                                                 Menurut ajaran Asy’ariyah, Tuhan mempunyai sifat-sifat sebagaimana disebutkan di dalam Al-Qur’an, seperti Allah mengetahui dengan ‘Ilmu, berkuasa dengan Qudrat, hidup dengan Hayat dan seterusnya.Sifat-sifat Allah SWT itu unik, sehingga tidak dapat dibandingkan dengan sifat-sifat manusia yang tampaknya mirip.Sifat-sifat Allah berbeda dengan dzat Allah SWT itu sendiri.
2.      Kebebasan Dalam Berkehendak                                                                           Menurut faham Asy’ariyah,Allah adalah pencipta (khaliq) perbuatan manusia,sedangkan manusia sendiri yang mengupayakannya (muktasib).Untuk mewujudkan suatu perbuatan, manusia membutuhkan dua daya, yaitu daya Tuhan dan daya manusia.Hubungan perbuatan manusia dengan kehendak Tuhan yang mutlak dijelaskan melalui teori Kasb;“yakni berbarengan perbuatan manusia dengan kekuasaan Tuhan”, artinya jika manusia hendak mengadakan perbuatannya, maka pada saat itu pula Tuhan menciptakan kesanggupan manusia untuk mewujudkan perbuatan. Dengan perbuatan inilah ia mendapatkan perbuatannya, tetapi tidak menciptakannya.                                                                                     Konsep Kasb ini adalah perpaduan antara konsep teologi Qadariyah dan Jabariyah.Qadariyah dengan konsep kehidupan manusia yang tergantung kepada manusianya.Kemampuan (qudrah) dan usaha manusia itu adalah sangat efektif.                                                                                                   Adapun al-Kasb disini menurut Asy’ariyah mengandung arti keaktifan.Karena itu, manusia bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya.
3.      Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk                                                Walaupun al-Asy’ari dan orang-orang Mu’tazilah mengakui pentingnya akal dan wahyu, mereka berbeda dalam menghadapi persoalan yang memperoleh penjelasan kontradiktif dari akal dan wahyu. Al-Asy’ari mengutamakan wahyu, sementara Mu’tazilah mengutamakan akal.Asy’ari berpendapat bahwa akal manusia tidak dapat sampai pada kewajiban mengetahui Tuhan.Manusia dapat mengetahui kewajibannya hanya melalui wahyu. Wahyulah yang mengatakan dan menerangkan kepada manusia bahwa ia berkewajiban mengetahui Tuhan, dan manusia harus menerima kebenaran itu. Menurut Asy’ari baik dan buruk berdasarkan pada wahyu, sedangkan Mu’tazilah mendasarkannya pada akal.
4.      Qadimnya Al-Qur’an                                                                                     Pandangan Asy’ari tentang al-Qur’an, sangat bertentangan dengan pandangan Mu’tazilah. Kalau Mu’tazilah mengatakan bahwa al-Qur’an adalahhawadits  (baru) karena ia makhluk, maka menurut Asy’ari, al-Qur’an adalah qadim. Hal ini didasarkan pada surat an-Nahl;40:“Sesungguhnya perkataan Kami terhadap sesuatu apabila Kami menghendakinya, Kami mengatakan kepadanya, “Kun (jadilah)” maka jadilah ia.”[7]
5.      Melihat Allah                                                                                                         Al-Asy’ari mengatakan bahwa setiap yang ada, pasti dapat dilihat. Oleh karena itu menurut i’tiqad kaum Ahlussunnah wal Jama’ah (faham al-Asy’ariyah), Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala manusia di akhirat kelak yaitu oleh hamba-hambanya yang saleh yang dikaruniai nikmat melihat Tuhan. Dalil-dalil atas kepercayaan ini antara lain firman Allah dalam surat al-Qiyamah ayat 22-23,yang artinya: “Wajah-wajah orang mukmin pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhan mereka melihat (memandang Tuhannya)”.Dan juga terdapat dalam Kitab Hadis: “Dari Jarir bin Abdillah, beliau berkata: Rasulullah SAW bersabda: Bahwasanya kamu akan melihat Tuhan kamu senyata-nyatanya.” (HR. Imam Bukhari _ ( Sahih Bukhari Juz IV hal.200 ).[8]
6.      Keadilan Allah                                                                                                Menurut Asy’ari, keadilan adalah menempatkan sesuatu pada tempat yang sebenarnya. Allah tidak mempunyai kewajiban apapun. Allah tidak wajib memasukkan orang entah itu  kesurga ataupun ke neraka. Semua itu adalah kehendak Allah mutlak. Jika Allah memasukkan seluruh manusia ke surga, bukan berarti Allah tak adil, dan jika Allah memasukkan seluruh manusia ke neraka, itu bukan berarti Allah zhalim.Allah adalah penguasa mutlak segala-galanya dan tidak ada yang lebih kuasa. Allah dapat dan boleh melakukan apa saja yang di kehendaki-Nya.
7.      Kedudukan Orang Berdosa Besar                                                                      Pada dasarnya al-Asy’ari dan Mu’tazilah berpandangan yang sama bahwa Allah SWT itu adil. Hanya saja mereka berbeda dalam memandang makna keadilan.Aliran Mu’tazilah mengatakan bahwa apabila pelaku dosa besar tidak bertaubat dari dosanya, meskipun ia mempunyai iman dan keta’atan, tidak akan keluar dari neraka. Sebaliknya,mengatakan siapa yang beriman kepada Allah SWT dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.                                                                                                             Adapun al-Asy’ari menolak ajaran menengah (manzilah bainal manzilatain) yang dianut Mu’tazilah.Mengingat kenyataan bahwa iman merupakan lawan kufr, predikat bagi seseorang haruslah salah satu diantaranya.Jika tidak mukmin, berarti kafir. Oleh karena itu, al-Asy’ari berpendapat bahwa mukmin yang berbuat dosa besar dan meninggal dunia sebelum sempat bertaubat, tetap dihukumi mukmin, tidak kafir, tidak pula berada diantara keduanya, dan di akhirat terserah Allah SWT dengan beberapa kemungkinan:
                   I.     Ia mendapat ampunan Allah SWT dengan rahmat-Nya sehingga pelaku dosa besar tersebut masuk surga
                II.     Ia mendapat syafa’at dari Nabi Muhammad SAW
             III.     Allah menghukum kepadanya dengan dimasukkan ke dalam neraka sesuai dengan dosa besar yang dilakukannya, kemudian ia di masukkan ke surga.[9]
Beberapa pokok ajaran Asy’ariyah diatas menunjukkan bahwa ia menolak paham-paham Mu’tazilah yang sebelumnya dianut olehnya. Semua pendapat yang dilontarkannya diatas merupakan kebalikan dari pendapat Mu’tazilah.


C. ISTILAH ASY’ARIYAH DAN AHLU SUNNAH WAL JAMAAH
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam di mana beliau dan para shahabat berada di atasnya. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat. Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, as-sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqad khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari Akhir, begitu juga dalam masalah-masalah Qadar dan Fadhailush-Shahabah (keutamaan shahabat).
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah. Meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan dien. Dan mereka (para ulama) mengukur semua perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin yang ada hubungannya dengan din dengan ketiga pokok ini (Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma').
Istilah ahlu sunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Muktazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M. Dengan perlahan-lahan paham Muktazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam. Pengaruh ini mencapai puncaknya pada zaman khalifah-khalifah Bani Abbas, yaitu Al-Makmun, Al-Muktasim, dan Al-Wasiq (813 M-847 M). Pada masa Al-Makmun, yakni tahun 827 M bahkan aliran Muktazilah diakui sebagai mazhab resmi yang dianut negara.
Ajaran yang ditonjolkan ialah paham bahwa Al-Qur’an tidak bersifat qadim, tetapi baru dan diciptakan. Menurut mereka yang qadim hanyalah Allah. Kalau ada lebih dari satu zat yang qadim, berarti kita telah menyekutukan Allah. Menurut mereka Al-Qur’an adalah makhluk yang diciptakan Allah. Sebagai konsekuensi sikap khalifah terhadap mazhab ini, semua calon pegawai dan hakim harus menjalani tes keserasian dan kesetiaan pada ajaran mazhab.
Mazhab ahlu sunnah wal jaamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok paham teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah.
Asy'ariyah banyak menggunakan istilah Ahlus Sunnah wal Jamaah ini. Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab salaf "Ahlus Sunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah,dan Madzhab Salaf.
Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:
1.      Tentang sifat Tuhan                                                                                          Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya
2.      Tentang Perbuatan Manusia                                                                     Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri
3.      Tentang Al-Quran                                                                                  Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq
4.      Tentang Kewajiban Tuhan                                                                      Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah
5.      Tentang Pelaku Dosa Besar                                                                    Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain
6.      Tentang Janji Tuhan                                                                                            Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat
7.      Tentang Rupa Tuhan                                                                                       Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah
Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah. Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.
Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf. Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun




BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN                    
  1. Nama lengkap Asy’ari adalah Abdul Hasan Ali bin Isma’il Al-Asy’ary keturunan dari Abu Musa Al-Asy’ary salah seorang perantara dalam sengketa antara Ali dan Muawiyah. Al-Asy’ari lahir tahun 260 H / 873 M dan wafat pada tahun 324 H / 935 M.
  2. Corak pemikiran Imam Al-Asy’ari seperti yang dilukiskan oleh pengikut-pengikutnya sebagai seorang muslim yang ikhlas membela kepercayaan dan mempercayai isi Qur’an dan Hadits dengan menempatkannya sebagai dasar (pokok) di samping menggunakan akal pikiran, di mana tugasnya tidak lebih daripada memeprkuat nas-nas tersebut.
  3. Pendapat-pendapatnya meliputi : Sifat Tuhan, kekuasaan Tuhan dan perbuatan manusia, melihat Tuhan pada hari Kiamat, dosa besar, dan keadilan.

B. SARAN
      Demikianlah pembahasan makalah ini, yang karena keterbatasan kami dalam memahami dan mendalami materinya_meskipun sudah semaksimal mungkin segala kemampuan pemakalah kerahkan dalam proses penyusunan makalah ini_kami hanya bisa menyajikan sekelumit dari banyaknya pembahasan tentang “Al-Asy’ariyah”.
Akhir kata kami sebagai penyusun makalah ini meminta ma’af bila ada kesalahan dan kekeliruan disana-sini, dan sudi kiranya memberikan sumbang saran atau kritikkan yang sifatnya membangun dan memotifasi demi kesempurnaan makalah ini.


DAFTAR PUSTAKA
Ø  Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum, Studi Kritis Peristiwa Tahkim. (Bandung;Pustaka Setia,1999).
Ø  Drs. H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998)
Ø  A.Hanafi,M.A, Pengantar Theology Islam, Bandung; PT.Alhusna Zikra,1995
Ø  Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, Cet II, Bandung; CV.Pustaka Setia,2003
Ø  Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, Cet IV, Jakarta; Raja Grafindo Persada, 2000
Ø  Asy-Syahrastani, Muhammad bin 'Abdul Karim (2001). "Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam". Surabaya: PT. Bina Ilmu
Ø  Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1972), hal.69
Ø  Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid IV, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1993), Cet XVI, hal.341



[1]. Hamka,Sejarah Baru Islam; Muhamad Mahzum, Studi Kritis Peristiwa Tahkim. (Bandung;Pustaka Setia,1999), hal.43.
[2]. Drs. H.Muhammad Ahmad, Tauhid Ilmu Kalam, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), Cet. I, hal.179.
[3] A.Hanafi,M.A, Pengantar Theology Islam, (Bandung: PT.Alhusna Zikra,1995), hal.104.
[4] Rosihon Anwar, Abdul Rozak, Ilmu Kalam, (Bandung:CV.Pustaka Setia,2003), Cet II, hal.120
[5] Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet. IV, hal.122
[6] Asy-Syahrastani, Muhammad bin 'Abdul Karim (2001). "Al-Milal wa al-Nihal: Aliran-aliran Teologi dalam Sejarah Umat Islam". Surabaya: PT. Bina Ilmu
[7] Harun Nasution, Teologi Islam Aliran-aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press,1972), hal.69
[8] Siradjuddin Abbas, 40 Masalah Agama Jilid IV, (Jakarta: Pustaka Tarbiyah,1993), Cet XVI, hal.341
[9] Drs. H.M. Yusran Asmuni, Ilmu Tauhid, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), Cet.IV, hal.123-126

Tidak ada komentar:

Posting Komentar