BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Membahas
Aliran – aliran dalam pemikiran islam dan sejarah nya, maka tak lain membahas
agama islam[1] itu
sendri. Dalam sebuah perguruan tinggi, aliran-aliran atau ajaran ajaran itu
biasa disebut dengan studi islam. Di kalangan para ahli masih terdapat
perdebatan di sekitar permasalahan apakah studi islam (agama) dapat
dimasukkan kedalam bidang ilmu pengetahuan, mengingat sifat karakteristik
antara ilmu pengetahuan dan agama berbeda.
Namun
sesuai dengan perkembangan zaman, perdebatan-perdebatan di kalangan para ahli
tentang apakah sebenarnya studi islam menghasilkan titik temu. Nah,
untuk itulah kiranya kita harus mengetahui aliran atau ajaran islam yang dalam
masa ini lebih dikenal dengan studi islam. Studi-studi dalam islam
memiliki banyak sekali aliran. Namun yang paling popular dalam perkembangannya
ada tiga buah aliran pemikiran dalam islam, yaitu :
1. aliran kalam (teologi)
2. aliran fiqih (hukum)
3. aliran tasawuf
Sekarang kita kenal berbagai macam pemikiran atau aliran-aliran
pemikiran dalam Islam. Hal tersebut sedikit membuat kaum muslimin bingung
dalam menyaksikan realitas yang ada. Terlebih dalam persoalan siapa yang benar
dan siapa yang salah? Maka dari itu, siapa yang akan diikuti menjadi persoalan
yang lebih rumit lagi.
Aliaran –aliran dalam Islam secara garis besarnya adalah kalam,fiqih,tasawuf,
dan filsafat. Masing-masing dari pembagian aliran-aliran yang telah kami
sebutkan di atas. Mereka terbagi-terbagi lagi menjadi beberapa bagian.
Namun
hal yang terpenting yang harus digaris bawahi sumber mereka satu yaitu
al-Qur’an dan as-Sunnah. Sedang realitas yang ada memang benar adanya bahwa
Allah SWT menurunkan ayat yang sifatnya zhanni lebih banyak daripada ayat yang
sifatnya Qhat’i. Agar daya nalar yang dimiliki oleh manusia berkembang.
Dan
kami di sini ingin mengatakan perbedaan tersebut janganlah dianggap sebagai
sebuah masalah, terlebih mengatakan hal itu adalah ‘aib. Tidak perlu bingung,
dan menjadikannya sebagai beban yang memberatkan kehidupan kita. Yang terpenting
mengikuti ajaran yang telah diyakini dengan sebaik mungkin. Dengan landasan
fitrah yang menjadi neraca.
B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan
masalah pada makalah ditunjukan untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas
pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, sebagai berikut :
1. Bagaimanakah
latar belakang dan sejarah munculnya Aliran Kalam (Teologi), Aliran Fiqih, dan Aliran Tasawuf
2. Siapa saja para
filosof muslim terkemuka?
3. biografi para
filosof muslim yang terkemuka
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan dalam makalah ditujukan untuk mencari tujuan dari dibahasnya
pembahasan atas rumusan masalah dalam makalah ini. Adapun tujuan penulisan
makalah, sebagai berikut :
1. Menjelaskan latar belakang sejarah
munculnya keempat aliran
2. Mengenal para filosof muslim
terkemuka
3. Mengetahui riwayat hidup para
filosof
BAB II
PEMBAHASAN
A.
ALIRAN-ALIRAN DALAM PEMIKIRAN ISLAM
1. ASAL USUL ALIRAN-ALIRAN DALAM ILMU
KALAM
Sejak wafatnya Nabi Muhammad saw,
kaum muslimin sudah mulai menghadapi perpecahan. Tetapi perpecahan itu menjadi
reda, karena terpilihnya Abu Bakar menjadi Khalifah. Setelah beberapa lamanya
Abu Bakar menduduki jabatan kekhalifahan, mulai tampak kembali perpecahan yang
disebarkan oleh orang-orang yang murtad dari Islam dan orang-orang yang
mengumumkan dirinya menjadi nabi, seperti Musailamah al-Kadzdzab, Thalhah, Sajah dan Al-Aswad Al-Ansy.
Di samping itu ada pula kelompok-kelompok lain yang tidak mau membayar zakat
kepada Abu Bakar. Padahal dahulunya mereka semua taat dan disiplin membayar
zakat pada Nabi. Akan tetapi semua perselisihan itu segera dapat diatas dan
dipersatukan kembali, karena kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar. Maka selamatlah
kekuasaan Islam yang muda Itu dari ancaman fitnah dari musuh-musuh Islam yang
hendak menghancur-leburkannya.
Kemudian perjalanan khalifah Abu
Bakar As-shiddiq, Umar bin Khattab,
dan Utsman
bin Affan tidak
begitu menghadapi persoalan, bahkan terjalin persaudaraan yang mesra dan akrab.
Pada masa ketiga khalifah itulah, dipergunakan kesempatan yang sebaik-baiknya
mengerahkan semua tenaga kaum muslimin untuk menyiarkan dan mengembangkan Islam
ke seluruh pelosok penjuru dunia. Tetapi setelah Islam meluas ke Afrika, Asia
Timur bahkan Asia Tenggara tiba-tiba diakhir Khalifah Utsman, terjadi suatu
persoalan yang ditimbulkan oleh tindakan Utsman yang oleh sebagian orang Islam
dianggap kurang mendapat simpati dari sebagian kaum muslimin.
Kebijakan khalifah Utsman bin Affan
yang dianggap tidak sesuai dengan kebutuhan umat pada saat itu, diantaranya
ialah kurang pengawasan dan pengangkatan terhadap beberapa pejabat penting
dalam pemerintahan, sehingga para pelaksana pemerintahan (para eksekutif) di
lapangan tidak bekerja secara maksimal, diperparah lagi dengan adanya sikap
nepotisme dari keluarganya. Utsman banyak menempatkan para pejabat tersebut
dari kalangan keluarganya, sehingga banyak mengundang protes dari kalangan umat
Islam. Dan sebenarnya hal Ini adalah bisa dimaklumi karena memang keluarga
Usman bin Affan adalah keluarga orang-orang yang pandai. Namun Inilah
bermulanya fitnah yang membuka kesempatan orang-orang yang berambisi untuk
menggulingkan pemerintahan Utsman.
Karena derasnya arus fitnah ini
sehingga mengakibatkan terbunuhnya Utsman bin Affan . Setelah itu maka Ali bin Abi Thalib
terpilih dan diangkat menjadi khalifah, tetapi dalam pengangkatan tidak
memperoleh suara yang bulat, karena ada golongan yang tidak menyetujui
pengangkatan itu. Bahkan ada yang dengan terang-terangan menentang pengangkatan
tersebut sekaligus menuduh bahwa Ali campur tangan atau sekurang-kurangnya
membiarkan komplotan pembunuhan terhadap Utsman. Semenjak itulah, berpangkalnya
perpecahan umat Islam, hingga menjadi beberapa partai atau golongan.
Diantaranya sebagai berikut :
Kelompok
yang setuju atas pengangkatan Ali menjadi khalifah.
Kelompok yang pada awalnya patuh dan setuju, tetapi
kemudian setelah terjadi perpecahan, menjadi golongan yang netral. Mereka
berpendidikan, tidak mau mengikuti taat pada Ali, tidak pula memusuhinya Ali.
Karena mereka berkeyakinan bahwa keberpihakan kepada salah satu dari dua
golongan tersebut tidak berakibat baik.
Kelompok
yang jelas-jelas menentang Ali secara terbuka
Yaitu Thalhah
bin Abdullah, Zubair bin Awam,
Aisyah binti Abu Bakar. Semuanya ini bersatu dan sepakat menjadikan Aisyah
sebagai komandan untuk menggulingkan khalifah Ali. Mereka menyusun tentara,
lalu menduduki Basrah. Pegawai-pegawai Ali di Basrah dibunuh, perbendaharaan
dirampas. Sebab itu Ali pun dengan membawa pasukan yang dipimpinnya sendiri
menuju Basrah, dan akhirnya terjadilah pertempuran hebat. Thalhah dan Zubair terbunuh. Aisyah tertangkap dan
dipulangkan ke Madinah. Peperangan ini dinamai peperangan Jamal (unta), sebab
Aisyah memimpin pertempuran itu dari atas unta. Dari tentara Aisyah banyak yang
melarikan diri dan menggabungkan diri dengan tentara Mu’awiyah di Syam, yang
same-sama menentang Ali. Terjadinya peperangan antara Mu’awiyah dan Ali, hingga
pertempuran Shiffin, yaitu perang terakhir antara Ali dan Mu’awiyah.
Ada golongan umat Islam yang
memisahkan diri dari tentara Ali. Golongan
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
ini yang kita kenal dengan kaum Khawarij, mereka tidak setuju dengan gencatan
senjata dan perundingan antara Ali dengan Mu’awiyah. Mereka ini dihancurkan pula
oleh Ali, sehingga cerai-berai. Sebenarnya Khawarij ini pada mulanya sungguh-
sungguh membela kepentingan agama. Mereka menuduh Ali tidak tegas dalam
mempertahankan kebenaran, sedang Mu’awiyah adalah penentang kebenaran, jadi
mereka memisahkan diri dari kedua-dua kelompok tersebut. Ia merasa mempunyai
hak untuk menentang pemerintahan mana saja yang tidak jujur. Dengan alasan-
alasan itulah, Khawarij menentang Ali dan Mu’awiyah.
ALIRAN-ALIRAN KALAM
Islam merupakan agama yang diyakini sebagai agama rahmat li al-amin oleh setiap umat Islam, tetapi tidak selamanya bersifat positif salah satu buktinya adalah tahkim. Peristiwa ini membuat bencana bagi umat islam sehingga terpecah belah menjadi tiga kelompok yaitu :
a. Pendukung Mu’awiyah yaitu Amr bin Ash
b. Pendukung Ali bin Abithalib yaitu Abu musa al-Asy’ari
c. Kelompok yang menentang Ali bin Abi thalib yang dipelopori oleh Atab bin A’war dan Urwah bin Jarir,kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij.
Islam merupakan agama yang diyakini sebagai agama rahmat li al-amin oleh setiap umat Islam, tetapi tidak selamanya bersifat positif salah satu buktinya adalah tahkim. Peristiwa ini membuat bencana bagi umat islam sehingga terpecah belah menjadi tiga kelompok yaitu :
a. Pendukung Mu’awiyah yaitu Amr bin Ash
b. Pendukung Ali bin Abithalib yaitu Abu musa al-Asy’ari
c. Kelompok yang menentang Ali bin Abi thalib yang dipelopori oleh Atab bin A’war dan Urwah bin Jarir,kelompok ini dikenal dengan nama Khawarij.
Macam-Macam
Aliran Kalam
1.
Khawarij
Khawarij ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan politik. Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat mereka pulang dari perang Siffin, yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian. Gerakan exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan peperangan, padahal mereka hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka, merupakan suatu kesalahan besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan Thalhah dan Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan mereka. dan Ali semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang itu hancur dan tunduk.
Khawarij ini merupakan suatu aliran dalam kalam yang bermula dari sebuah kekuatan politik. Dikatakan khawarij (orang-orang yang keluar) karena mereka keluar dari barisan pasukan Ali saat mereka pulang dari perang Siffin, yang dimenangkan oleh Mu’awiyah melalui tipu daya perdamaian. Gerakan exodus itu, mereka lakukan karena tidak puas dengan sikap Ali menghentikan peperangan, padahal mereka hampir memperoleh kemenangan. Sikap Ali menghentikan peperangan tersebut, menurut mereka, merupakan suatu kesalahan besar karena Mu’awiyah adalah pembangkang, sama halnya dengan Thalhah dan Zutair. Oleh sebab itu tidak perlu ada perundingan lagi dengan mereka. dan Ali semestinya meneruskan peperangan sampai para pembangkang itu hancur dan tunduk.
Kemudian
orang-orang Khawarij mulai mengafirkan siapa saja yang dianggap melakukan
kesalahan, seperti Utsman bin Affan yang melakukan kesalahan karena mengubah
sistem politiknya sehingga menimbulkan huru-hara. Kemudian Thalhah. Zubair dan
Mu’awiyah yang melakukan pembangkangan terhadap Ali bin Abi Thalih sebagai khalifah
yang sah. Dan Ali bin Abi Thalib sendiri yang melakukan kesalahan karena
menghentikan pertempuran dalam perang Siffin, ketika menaklukkan mu’awiyah yang
tidak mau bai’at kepadanya.
Pada awalnya
tuduhan kafir tersebut dilontarkan mereka kepada Mu’awiyah, Amru bin Ash, Ali
bin Abi Thalib dan Abu Musa al-Asy’ari, yang keempatnya ini pelaku utama proses
tahkim (damai) untuk mengakhiri peperangan. Namun, tahkim tersebut menurut
orang-orang khawarij tidak sesuai dengan ketentuan ajaran agama, karena Mu’awiyah
adalah pembangkang yang seharusnya diperangi sampai hancur dan tunduk. Dengan
demikian, jalan terakhir tersebut tidak sesuai dengan ketentuan hukum Allah,
dan barang siapa menetapkan sesuatu dengan ketentuan yang tidak sesuai dengan
hukum Allah tergolong orang-orang kafir, sebagaimana dikemukakan dalam surah
al-Maidah ayat 44 yang artinya:
“Barang
siapa yang tidak menentukan hukum dengan apa yang diturunkan oleh
Allah adalah kafir”.
Allah adalah kafir”.
Kemudian
sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa pada akhirnya mereka mengafirkan
orang-orang yang melakukan kesalahan (dosa) besar, karena tidak mengikuti hukum
Allah juga termasuk suatu kesalahan besar. Kendati semua yang mereka kafirkan
itu adalah para pelaku pilitik yang menuntut pandangannya melakukan kesalahan
besar dengan tidak mengikuti norma agama sesuai Al-Qur’an, namun demikian
mereka juga mengafirkan para pelaku dosa besar di luar politik, bahkan lebih
jauh mereka mengafirkan orang-orang yang tidak sependapat dan tidak sealiran
dengan mereka. Akhirnya semakin banyak konflik dan pertempuran akibat pemikiran
teologinya itu, sehingga Ali bin Abi Thalib penguasa sah saat itu menyerang
mereka dan menghancurkannya tahun 37 H. Akan tetapi salah seorang dari mereka
ada yang selamat dan membunuh Ali bin Abi Thalib tahun ke-40 H.
Walaupun
telah dihancurkan Ali bin Abi Thalib tahun ke-37 H, namun sisa-sisa kekuatan
mereka masih terus bergerak dan berhasil menghimpun kekuatan lagi, sehingga
terus melakukan gerakan oposisi terhadap daulah Umayah. Akan tetapi, kelompok
ini rentan sekali sehingga mudah pecah, dapat dihancurkan kembali oleh Banu
Umayah pada tahun 70 H. Sisa-sisanya dari sub sekte Ibadiyah (sebutan sub sekte
Khawarij yang sangat moderat) sampai kink masih ada di Sahara Al-Jazair,
Tunisia, Pulau Zebra, Zanzibar, Omman dan Arabia Selatan, dan tidak
melakukan perlawanan politik apa-apa terhadap penguasa yang sah.
Sesuai
dengan uraian diatas, maka pemikiran kalam aliran khawarij yang paling menonjol
adalah tentang pelaku dosa besar yang menurut mereka tergolong orang kafir, dan
termasuk pada kategori dosa besar adalah sikap menentang terhadap pemikiran
khawarij sehingga orang-orang yang tidak sepaham dengan mereka tergolong kafir.
Di samping
itu, mereka mempunyai pemikiran yang khas tentang definisi iman. Yakni menurut mereka
iman itu adalah meyakini dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan mengamalkan
dengan anggota badan. Sejalan dengan definisinya ini, maka orang-orang
yang tidak mengamalkan ajaran agamanya, atau melakukan pelanggaran dalam
kategori dosa besar, termasuk kufur, karena amal mempengaruhi iman.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran
aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sebagai beriku :
1.
Orang Islam yang melakukan dosa besar adalah termasuk
Kafir
2.
Orang yang terlibat perang Jamal yakni perang antara
Ali dan Aisyah dan
pelaku
arbitrase antara Ali dan Mua’awiyah dihukum Kafir
3.
Kholifah menurut mereka tidak harus keturunan Nabi
atau suku quraisy
Mempercayai bahwa Muhamad bin Hanafiah sebagai pemimpin setelah Husein Ibn Ali wafat :
A. Nama
kausaniyah diambil dari nama kaisan yaitu nama budak Ali Bin Abu Thalib. Mesikpun sekte(organisasi) ini
punah, cerita kebesaran Muhamad bin Hanafiah dapat di jumpai dalam cerita rakyat, hikayat
ini terkenal sejak abad 15 M di Malaka
B. Saidiyah :
Yaitu sekte ini mengakui ke kalifahan Abu bakar & Umar sekte syi’ah
mempercayai bahwa Zaed Bin Ali Bin Husein Zaenal Abidin merupakan peimpin
setelah Husein bin Ali wafat. Dalam sekte ini ada 5
syarat untuk dapat di angkat sebagai pemimpin yaitu :
a. Berasal dari
keturunan Fatimah Binti Muhammad
b. Berpengetahuan
luas tentang agama
c. Hidupnya
untuk beribadah
d. Jihad di
jalan Allah dengan mengangkat senjata
e. Berani
C. Sekte
Imamiyah : yaitu sekte Syi’ah yang menunjukan langsung Ali Bin Abitholib untuk
menjadi imam oleh rassulullah Sebagai pengganti beliau. Sehingga sekte
ini tidak mengakui Abu bakar dan Umar.sekte imamyah pecah menjadi 2 golongan,
yang terbesar yaitu:
a. Isna
Asy’ariah / Syi’ah dua 12
b. Ismailiyah
Pada awalnya, Khawarij merupakan aliran
atau fraksi politik, kelompok ini terbentuk karena persoalan kepemimpinan umat
islam, tetapi mereka membentuk suatu ajaran yang kemudian menjadi ciri umat,
aliran mereka yaitu ajaran tentang pelaku dosa besar ( murtakib al-kaba’ir ).
menurut Khawarij orang-orang yang terlibat dan menyetujui hasil tahkim telah
melakukan dosa besar. Orang islam yang melakukan dosa besar, dalam pandangan
mereka berarti telah kapir: kapir setelah memeluk Islam berarti murtad dan
orang murtad halal dibunuh berdasarkan hadis yang menyatakan bahwa nabi
muhammad saw bersabda : ”man baddala dinah faktuluh “, atas dasar premis-premis
yang dibangunnya Khawarij berkesimpulan bahwa orang yang terlibat dan
menyetujui tahkim harus dibunuh. Bagi mereka, pembunuhan terhadap orang-orang
yag dinilai telah kafir adalah “ibadah”.
2.
Murji’ah
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap “irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka, biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah di antara mereka yang tengah berselisih ini.
Sejak terjadinya ketegangan politik di akhir pemerintahan Utsman bin Affan, ada sejumlah sahabat nabi yang tidak mau ikut campur dalam perselisihan politik. Ketika selanjutnya terjadi salah menyalahkan antara pihak pendukung Ali dengan pihak penuntut bela kematian Utsman bin Affan, maka mereka bersikap “irja” yakni menunda putusan tentang siapa yang bersalah. Menurut mereka, biarlah Allah saja nanti di hari akhirat yang memutuskan siapa yang bersalah di antara mereka yang tengah berselisih ini.
Selanjutnya
mereka kaum khawarij berpendapat bahwa mukmin yang melakukan dosa besar itu
menjadi kafir dan kelak akan kekal dalam neraka, maka Kaum Murji’ah berpendapat
bahwa mukmin yang melakukan dosa besar tersebut masih tetap mukmin, yaitu
mukmin yang berdosa tidak berubah menjadi kafir. Lalu apakah mereka akan masuk
ke dalam neraka atau surga, atau masuk neraka terlebih dahulu baru kemudian ke
dalam surga, ditunda sampai ada putusan akhir dari Allah. Disamping itu, khusus
bagi para pelaku dosa besar, mereka juga berharap agar mereka mau bertaubat,
dan berharap pula agar taubatnya diterima di sisi Allah SWT.
Karena
penundaan semua putusan terhadap Allah, serta senantiasa berharap Allah akan
mengampuni dosa-dosa para pelaku dosa besar tersebut, maka mereka ini kemudian
populer disebut sebagai golongan atau aliran “murji’ah” (orang yang mendapat
putusan para pelaku dosa besar sampai ada ketetapan dari Allah, sambil berharap
bahwa Allah akan mengampuni dosa-dosa mereka itu).
Pendirian
Murji’ah di atas sangat moderat, sehingga menjadi pendirian umat Islam pada
umumnya tentang mukmin yang berbuat dosa besar. Mereka sendiri kemudian disebut
sebagai penganut aliran Murji’ah moderat. Akan tetapi pada akhir abad pertama
dan awal abad kedua hijrah, muncul orang-orang murji’ah ekstrim yang sangat
meremehkan peran amal perbuatan. Mereka selanjutnya berpendapat bahwa siapa
saja yang meyakini keesaan Allah dan ke-Rasulan Muhammad SAW, adalah orang
beriman walaupun selalu melakukan perbuatan buruk. Bahkan seorang tidak boleh
dikatakan kafir kendati sering melakukan ibadah di dalam gereja, karena
keimanan itu ada dalam hati, dan hanya dapat diketahui oleh Allah. Tokoh-tokoh
aliran murji’ah ekstrim ini adalah Jaham bin Shafwan, Abu Hasan al-Shalih,
Muqatil bin Sulaiman dan Yunus al-Samiri.
Kaum
murji’ah ekstrim ini banyak memperoleh kecaman dari para ulama saat itu, dan
tidak memperoleh pengikut, serta akhirnya lenyap. Sedang murji’ah moderat
kemudian menjadi pengikut aliran Ahlus Sunrah wal Jama’ah.
Pemikiran
yang paling menonjol dari aliran ini adalah bahwa pelaku dosa besar tidak
dikategori sebagai orang kafir, karena mereka masih memiliki keimanan dan
keyakinan dalam hati bahwa Tuhan mereka adalah Allah, Rasul-Nya adalah
Muhammad, serta Al-Qur’an sebagai kitab ajarannya serta meyakini rukun-rukun
iman lainnya.
Disamping
itu, mereka berpendapat bahwa iman itu adalah mengetahui dan meyakini atas
ke-Tuhanan Allah dan ke-Rasulan Muhammad. Mereka tidak memasukkan unsur amal
dalam iman, sehingga amal tidak mempengaruhi iman. Oleh sebab itu pulalah
mereka berpendapat bahwa pelaku dosa besar tetap mukmin, dan tidak terkategori
sebagai orang kafir sebagaimana dinyatakan ajaran khawarij. Sedangkan dosanya
harus mereka pertanggungjawabkan di akhirat kelak.
Dengan demikian pokok-pokok pikiran
aliran ilmu kalam mereka dapat disimpulkan sebagai berikut :
1. Pengakuan
Iman Islam cukup di dalam hatinya saja dan tidak dituntut
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
membuktikan keimanan dengan perbuatan.
2. Selama
seorang muslim meyakini dua kalimat syahadat apabila ia berbuat
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
dosa besar maka tidak tergolong kafir dan hukuman mereka ditangguhkan di
akhirat dan hanya Allah yang berhak menghukum
Sebagian umat islam khawatir terhadap
gagasan Khawarij yang mengkafirkan Ali bin Abi thalib, Mu’awiyah bin Abi
Sufyan, Amir bin Ash, Abu Musa al-Asy’ari. Oleh karena itu sebagian ulama
mencoba bersikap netral secara politik dan tidak mau mengkafirkan para sahabat
yang terlibat dan menyetujui tahkim. umat islam yang tergabung dalam kelompok
ini kemudian dikenal sebagai Murji’ah. kelompok ini dipelopori oleh Ghilan
al-Dimasyai.
Ajaran utama aliran Murji’ah adalah orang islam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukumi (ditundukan ) kedudukannya dengan hukum dunia, mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga, kedudukan mereka ditentukan dengan hukum akhirat. bagi mereka perbuatan maksiat tidak merusak iman sebagai mana perbuatan taat tidak bermanfaat bagi yang kufur, selain itu bagi mereka iman adalah pengetahuan tentang allah secara mutlak, sedangkan kufur adalah ketidak tahuan tentang tuhan secara mutlak. Oleh karena itu menurut Murji’ah iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang .
Ajaran utama aliran Murji’ah adalah orang islam yang melakukan dosa besar tidak boleh dihukumi (ditundukan ) kedudukannya dengan hukum dunia, mereka tidak boleh ditentukan akan tinggal di neraka atau di surga, kedudukan mereka ditentukan dengan hukum akhirat. bagi mereka perbuatan maksiat tidak merusak iman sebagai mana perbuatan taat tidak bermanfaat bagi yang kufur, selain itu bagi mereka iman adalah pengetahuan tentang allah secara mutlak, sedangkan kufur adalah ketidak tahuan tentang tuhan secara mutlak. Oleh karena itu menurut Murji’ah iman itu tidak bertambah dan tidak berkurang .
3.
Qadariyah
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia diintervensi dari Tuhan. Aliran berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta baagi segala mperbuatannyan; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskqan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrahatau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasdal dari pengewrtian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Qadariyah berasal dari bahasa arab, yaitu qadara yang artinya kemampuan dan kekuatan. Adapun menurut pengertian terminologi, qadariyah adalah suatu aliran yang percaya bahwa segala tindakan manusia diintervensi dari Tuhan. Aliran berpendapat bahwa tiap-tiap orang adalah pencipta baagi segala mperbuatannyan; ia dapat berbuat sesuatu atau meninggalkan atas kehendaknya sendiri. Dalam hal ini, Harun Nasution menegaskqan bahwa kaum qadariyah berasal dari pengertian bahwa manusia mempunyai qudrahatau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan berasdal dari pengewrtian bahwa manusia terpaksa tunduk pada qadar Tuhan.
Seharusnya, sebutan qadariyah di
berikan kepdada aliran yang berpendapat bahwa qadar menetukan
segala tingkah laku manusia, baik yang bagus maupinyang jahat. Qadariyah pertama
sekali di munculkan oleh Ma’bad Al-Jauhani dan ghailan Ad-Dimasyqy. Ma’bad
adalah seorang tabi’I yang dapat di percaya dan pernah berguru pada Hasan
Al-Basri. Adapun ghailan adalah serorang orator berasal dari Damaskus dan
ayahnya menjadi maula Husna bin affan.
Seperti yang telah
dikemukakan di atas, Qadariyah berakar pada qadara yang dapat berarti
memutuskan dan memiliki kekuatan atau kemampuan. Sedangkan
sebagai aliran dalam ilmu Kalam, qadariyah adalah nama yang dipakai untuk suatu
aliran yang memberikan penekanan terhadap kebebasan dan kekuatan manusia dalam
menghasilkan perbuatan-perbuatannya. Dalam paham Qadariyah manusia dipandang
mempunyai qudrat atau kekuatan untuk melaksanakan kehendaknya, dan bukan
berasal dari pengertian bahwa manusia terpaksa tunduk kepâda qàdar atau qada
Tuhan.
Tèntang kapan
munculnya paham qadariyah dalam Islam, secara pasti tidak dapat diketahui.
Namun ada sementara para ahli yang menghubungkan paham qadariyah ini dengan
kaum Khawarij. Pemahaman mereka tentang konsep iman, pengakuan hati dan amal
dapat menimbulkan kesadaran bahwa manusia mampu Sepenuhnya memilih dan
menentukan tindakannya sendiri, baik atau buruk.
Tokoh pemikir
pertama kali yang menyatakan paham qadariyah ini adalah Ma’bad al-Juhani, yang
kemudian diikuti oleh Ghailan al-Dimasqi. Sementara itu Ibnu Nabatah
sebagaimana dikemukakan oleh Ahmad Amin berpendapat bahwa paham Qadariyah itu
pertama kali muncul dari seseorang asal Irak yang menganut Kristen dan kemudian
masuk Islam, tetapi kemudian masuk Kristen lagi. Dari tokoh inilah Ma’bad
al-Juhani dan Ghailan al-Dimasqi menerima paham qadariyah.
Dalam ajarannya,
aliran Qadariyah sangat menekankan posisi manusia yang amat menentukan dalam
gerak laku dan perbuatannya. Manusia dinilai mempunyai kekuatan untuk
melaksanakan kehendaknya sendiri atau untuk tidak melaksanakan kehendaknya itu.
Dalam menentukan keputusan yang menyangkut perbuatannya sendiri, manusialah
yang menentukan, tanpa ada campur tangan Tuhan.
Manusia memiliki kebebasan dan kemerdekaan
dalam menentukan perjalanan hidupnya. menurut paham ini manusia mempunyai
kebebasan dan kekuatan sendiri untuk mewujudkan perbuatan-perbuatannya. aliran
ini disebut Qadariyah karena memandang bahwa manusia memiliki kekuatan ( qudrah
) untuk menentukan perjalanan hidupnya dan untuk mewujudkan
perbuatannya.menurut temuan sementara ajaran ini pertamakali dikenalkan oleh
Ma’bad al-Juhani karena tidak terdapat bukti yang otentik tentang siapa yang
pertamakali membentuk ajaran Qadariyah.
4. Jabariyah
Nama Jabriyah Berasal dri kata jabara yang mengandung arti Memaksa. sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dri hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Dalam istilah Inggris paham jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
4. Jabariyah
Nama Jabriyah Berasal dri kata jabara yang mengandung arti Memaksa. sedangkan menurut al-Syahrastani bahwa jabariyah berarti menghilangkan perbuatan dri hamba secara hakikat dan menyandarkan perbuatan tersebut kepada Allah SWT. Dalam istilah Inggris paham jabariyah disebut fatalism atau predestination, yaitu paham yang menyatakan bahwa perbuatan manusia ditentukan sejak semula oleh qada dan qadar Tuhan. Dengan demikian posisi manusia dalam paham ini tidak memiliki kebebasan dan inisiatif sendiri, tetapi terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Oleh karena itu aliran Jabariyah ini menganut paham bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam paham ini betul melakukan perbuatan, tetapi perbuatannya itu dalam keadaan terpaksa.
Paham
jabariyah ini duduga telah ada sejak sebelum agama islam datang
kemsyarakat Arab. Kehidupan bangsa arab yang diliputi oleh gurun pasir sahara
telah memberi pengaruh besar kedalam cara hidup mereka. Ditengah bumi yang
disinari terik matahari dengan air yang sangat sedikit dan udara panas ternyata
tidak dapat memberi kesempatan bagi tumbuhnya pepohonan dan suburnya tanaman.
Disana sini yang tumbuh hanya rumput keras dan beberapa pohon yang cukup kuat
untuk mengahdapi panasnya musim serta keringnya udara.
Aliran
jabariyah dibagi menjadi 2 yaitu aliran jabariyah yang ekstrim dan moderat.
Aliran jabariyah yang ekstrim tokohnya dalah jahm bin safwan pendapatnya
manusia sangat lemah, tak berdaya, terikat dengan kekuasaan dan kehendak mutlak
Tuhan, tidak mempunyai kehendak dan kemauan bebas sebagaimana dimiliki oleh
paham qodariyah. Seluruh tindakan dan perbuatan manusai tidak boleh lepas dari
aturan, skenario, dan kehendak Allah.
Menurut aliran ini manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam menentukan perjalanan hidup dan mewujudkan
perbuatannya, mereka hidup dalam keterpaksaan ( jabbar ), karena aliran ini berpendapat
sebaliknya; bahwa dalam hubungan dengan manusia, tuhan itu maha kuasa.karena
itu, tuhanlah yang menentukan perjlanan hidup manusia dan yang mewujudkannya.
Ajaran ini dipelopori oleh Al-ja’d bin Dirham.
5. Muktazilah
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang berdosa besar. Menghadapi dua pendapat ini, Wasil bin Ata yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahuli gurunya dalam mengeluarkan pendapat. Wasil mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya, orang itu bukan mukmin dan bukan kafir.
Aliran ini muncul sebagai reaksi atas pertentangan antar aliran Khawarij dan aliran Murji’ah mengenai persoalan orang mukmin yang berdosa besar. Menghadapi dua pendapat ini, Wasil bin Ata yang ketika itu menjadi murid Hasan al-Basri, seorang ulama terkenal di Basra, mendahuli gurunya dalam mengeluarkan pendapat. Wasil mengatakan bahwa orang mukmin yang berdosa besar menempati posisi antara mukmin dan kafir. Tegasnya, orang itu bukan mukmin dan bukan kafir.
Aliran Mu’tazilah merupakan
golongan yang membawa persoalan-persoalan teologi yang lebih mandalam dan
bersifat filosofis. Dalam pembahasannya mereka banyak memakai akal sehingga
mendapat nama “kaum rasionalis Islam”.
Setelah menyatakan pendapat
itu, Wasil bi Ata meninggalkan perguruan Hasan al-Basri, lalu membentuk
kelompok sendiri. Kelompok ini dikenal dengan Muktazillah. Pada awal
perkembangannya aliran ini tidak mendapat simpati umat Islam karena ajaran
Muktazillah sulit dipahami oleh beberapa kelompok masyarakat. Hal itu
disebabkan ajarannya bersifat rasional dan filosofis. Alas an lain adalah
aliran Muktaszillah dinilai tidak berpegang teguh pada sunnah Rasulullah SAW
dan para sahabat. Aliran baru ini memperoleh dukungan pada masa pemerintahan
Khalifah al-Makmun, penguasa Bani Abbasiyah.
Aliran Muktazillah
mempunyai lima dokterin yang dikenal dengan al-usul al- khamsah.
Berikut ini kelima doktrin aliran Muktazillah.
1. At-Taauhid (Tauhid) Ajaran pertama aliran ini berarti meyakini sepenuhnya
bahwa hanya Allah SWT. Konsep tauhid menurut mereka adalah paling murni
sehingga mereka senang disebut pembela tauhid (ahl al-Tauhid).
2. Ad-Adl
Menurut aliaran Muktazillah pemahaman keadilan Tuhan
mempunyai pengertian bahwa Tuhan wajib berlaku adil dan mustahil Dia berbuat
zalim kepada hamba-Nya. Mereka berpendapat bahwa tuhan wajib berbuat yang terbaik
bagi manusia. Misalnya, tidak memberi beban terlalu berat, mengirimkan nabi dan
rasul, serta memberi daya manusia agar dapat mewujudkan keinginannya
3. Al-Wa’d wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman). Menurut
Muktazillah, Tuhan wajib menepati janji-Nya memasukkan orang mukmin ke dalam
sorga. Begitu juga menempati ancaman-Nya mencampakkan orang kafir serta orang
yang berdosa besar ke dalam neraka
4. Al-Manzilah bain al-Manzilatain (posisi di Antara Dua
Posisi). Pemahaman ini merupakan ajaran dasar pertama yang
lahir di kalangan Muktazillah. Pemahaman ini yang menyatakan posisi orang
Islam yang berbuat dosa besar. Orang jika melakukan dosa besar, ia tidak
lagi sebagai orang mukmin, tetapi ia juga tidak kafir. Kedudukannya sebagai
orang fasik. Jika meninggal sebelum bertobat, ia dimasukkan ke neraka
selama-lamanya. Akan tetapi, sikasanya lebih ringan daripada orang kafir
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar (Perintah Mengerjakan Kebajikan
dan Melarang Kemungkaran).
Kelompok
ini banyak menggunakan kekuatan akal sehingga mereka digelari “ kaum rasionalis
islam “aliran ini didirikan dan disebarluaskan oleh Washil bin Atha.
Ajaran pokok aliran Muktazilah adalah panca ajaran atau pancasila Muktazilah yaitu:
Ajaran pokok aliran Muktazilah adalah panca ajaran atau pancasila Muktazilah yaitu:
a.
Keesaan tuhan (al-tauhid )
b.
Keadilan tuhan (al-adl )
c.
Janji dan ancaman (al-wa’d wa al-waid )
d.
Posisi diantara dua tempat ( al-manzilah bain al-manzilatin
)
e.
Amar makruf nahi munkar (al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahy’an
al-munkar)
6. Ahlu sunnah wal jama’ah
Ahlu sunnah wal jama’ah terbentuk akibat dari adanya penentangan terhadap aliran Muktazilah oleh orang Muktazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Isma’il bin Abi basyar ishak bin Salim bin isma’il bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr bin Abi musa al-asy’ari.
Imam al-asy’ari (260-324 H), menurut Abubakar isma’il al-Qairawani adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun kemudian ia menyatakan keluar dari Muktazilah. setelah itu ia mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan –gagasan Muktazilah.
Ajaran pokok Ahlu sunnah wal jama’ah tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-asy’ari. Para pelanjutnya antara lain Imam abu manshur al-maturidi yang kemudian mendirikan aliran Maturidiyyah yang ajarannya lebih dekat dengan muktazilah. Imam al- maturidi pun memiliki pengikut yaitu al-bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu para ahli menjelaskan bahwa maturidiah terbagi menjadi dua golongan:
Ahlu sunnah wal jama’ah terbentuk akibat dari adanya penentangan terhadap aliran Muktazilah oleh orang Muktazilah itu sendiri, mereka adalah Abu al-Hasan, Ali bin Isma’il bin Abi basyar ishak bin Salim bin isma’il bin abd Allah bin Musa bin Bilal bin Abi burdah amr bin Abi musa al-asy’ari.
Imam al-asy’ari (260-324 H), menurut Abubakar isma’il al-Qairawani adalah seorang penganut Muktazilah selama 40 tahun kemudian ia menyatakan keluar dari Muktazilah. setelah itu ia mengembangkan ajaran yang merupakan counter terhadap gagasan –gagasan Muktazilah.
Ajaran pokok Ahlu sunnah wal jama’ah tidak sepenuhnya sejalan dengan gagasan Imam al-asy’ari. Para pelanjutnya antara lain Imam abu manshur al-maturidi yang kemudian mendirikan aliran Maturidiyyah yang ajarannya lebih dekat dengan muktazilah. Imam al- maturidi pun memiliki pengikut yaitu al-bazdawi yang pemikirannya tidak selamanya sejalan dengan gagasan gurunya. Oleh karena itu para ahli menjelaskan bahwa maturidiah terbagi menjadi dua golongan:
1.
golongan Maturidiah Samarkand, yaitu para pengikut Imam al-maturidi dan
2.
golongan Maturidiah Bukhara,yaitu para pengikut Imam al-bazdawi yang tampaknya
lebih dekat dengan ajaran al-asy’ari.
7.
Salafi
Aliran ini tidak selamanya sejalan dengan gagasan-gagasan imam al-asy’ari, terutama karena aliran ahlu sunnah wal jama’ah menggunakan logika (manthiq) dalam menjelaskan teologi, sedangkan aliran salafi menghendaki teologi apa adanya tanpa dimasuki oleh unsur ra’y. aliran ini dikemukakan oleh Ibnu taimiah.
Aliran ini tidak selamanya sejalan dengan gagasan-gagasan imam al-asy’ari, terutama karena aliran ahlu sunnah wal jama’ah menggunakan logika (manthiq) dalam menjelaskan teologi, sedangkan aliran salafi menghendaki teologi apa adanya tanpa dimasuki oleh unsur ra’y. aliran ini dikemukakan oleh Ibnu taimiah.
8.
Aliran Al asy’ariyah
Aliran ini muncul sebagai reaksi
terhadap paham Muktazillah yang dianggap menyeleweng dan menyesatkan umat
Islam. Dinamakan aliran Asy’ariyah karena dinisbahkan kepada pendirinya, yaitu
Abu Hasan al-Asy’ari. Dan nama aslinya adalah Abu al-hasan ‘Ali bin Ismail
al-Asy’ari, dilahirkan dikota Basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat
pada tahun 324 H/ 935 M, keturunan Abu Musa al-Asy’ari seorang sahabat dan
perantara dalam sengketa antara Ali r.a. dan Mu’awiyah r.a.
Setelah
keluar dari kelompok Muktazillah, al-Asy’ari merumuskan pokok-pokok ajarannya
yang berjumlah tujuh pokok. Berikut ini adalah tujuh pokok ajaran aliran
As’ariyah:
1.
Tentang Sifat Allah Menurutnya,
Allah mempunyai sifat, seperti al-Ilm (mengetahui), al-Qudrah (kuasa), al-Hayah
(hidup), as-Sama’ (mendengar), dan al-Basar (melihat).
2.
Tentang Kedudukan Al-Qur’an
Al-Qur’an adalah firman Allah dan bukan makhluk dalam arti baru dan
diciptakan. Dengan demikian, Al-Qur’an bersifat qadim (tidak baru)
3.
Tentang melihat Allah Di Akhirat
Allah dapat dilihat di akhirat dengan mata kepala karena Allah mempunyai
wujud
4.
Tentang Perbuatan Manusia
Perbuatan-perbuatan manusia itu
ciptaan Allah
5.
Tentang Antropomorfisme
Menurut alAsy’ari, Allah mempunyai mata, muka, dan tangan, sebagaimana
disebutkan dalam surah al-Qamar ayat 14 dan ar-Rahman ayat 27. akan tetapi
bagaimana bentuk Allah tidak dapat diketahui
6.
Tentang dosa Besar
Orang mukmin
yang berdosa besar tetap dianggap mukmin selam ia masih beriman kepada Allah
dan Rasul-Nya
7.
Tentang Keadilan Allah Allah adalah
pencipta seluruh alam. Dia milik kehendak mutlak atas ciptaan-Nya.
Ketujuh pemikiran al-Asy’ari
tersebut dapat diterima oleh kebanyakan umat Islam karena sederhana dan tidak
filosofis.
2.
ALIRAN-ALIRAN FIQIH
Secara histories, hukum islam telah
menjadi 2 aliran pada zaman sahabat Nabi Muhammad SAW. Dua aliran tersebut
adalah Madrasat Al-Madinah (Madrasat Al-Hadits) dan Madrasat Al-Baghdad (Madrasat
Al-Ra’y). Aliran Madinah terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di Madinah,
aliran Baghdad/kuffah juga terbentuk karena sebagian sahabat tinggal di kota
tersebut.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah, terbentuklah Fuqaha Sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat[2]. Diantara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin Al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin Al-Musayyab adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri dan diantara murid Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran Maliki. Ajaran Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijma dan amal ulama madinah sebagai hujjah.
Dan di Baghdad terbentuk aliran ra’yu, di Kuffah adalah Abdullah bin Mas’ud, salah satu muridnya adalah Al-Aswad bin Yazid Al-Nakha’I salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil Al-Sya’bi dan salah satu muridnya adalah Abu Hanifah yang mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fiqih Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits. Diantara pendapatnya adalah bahwa benda wakaf boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, kecuali wakaf tertentu. Karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap milik yang mewakafkan.
Murid Imam Malik dan Muhammad As-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, pendiri aliran hukum yang dikenal dengan Syafi’iyah atau aliran Al-Syafi’i. Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Salah satu murid Imam Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal pendiri aliran Hanbaliyah. Disamping itu masih ada aliran zhahiriyah yang didirikan oleh Imam Daud Al-Zhahiri dan aliran Jaririyah yang didirikan oleh Ibnu Jarir Al-Thabari.
Atas jasa sahabat Nabi Muhammad SAW yang tinggal di Madinah, terbentuklah Fuqaha Sab’ah yang juga mengajarkan dan mengembangkan gagasan guru-gurunya dari kalangan sahabat[2]. Diantara fuqaha sab’ah adalah Sa’id bin Al-Musayyab. Salah satu murid Sa’id bin Al-Musayyab adalah Ibnu Syihab Al-Zuhri dan diantara murid Ibnu Syihab Al-Zuhri adalah Imam Malik pendiri aliran Maliki. Ajaran Imam Maliki yang terkenal adalah menjadikan Ijma dan amal ulama madinah sebagai hujjah.
Dan di Baghdad terbentuk aliran ra’yu, di Kuffah adalah Abdullah bin Mas’ud, salah satu muridnya adalah Al-Aswad bin Yazid Al-Nakha’I salah satu muridnya adalah Amir bin Syarahil Al-Sya’bi dan salah satu muridnya adalah Abu Hanifah yang mendirikan aliran Hanafi. Salah satu ciri fiqih Abu Hanifah adalah sangat ketat dalam penerimaan hadits. Diantara pendapatnya adalah bahwa benda wakaf boleh dijual, diwariskan, dihibahkan, kecuali wakaf tertentu. Karena ia berpendapat bahwa benda yang telah diwakafkan masih tetap milik yang mewakafkan.
Murid Imam Malik dan Muhammad As-Syaibani (sahabat dan penerus gagasan Abu Hanifah) adalah Muhammad bin Idris Al-Syafi’I, pendiri aliran hukum yang dikenal dengan Syafi’iyah atau aliran Al-Syafi’i. Imam ini sangat terkenal dalam pembahasan perubahan hukum Islam karena pendapatnya ia golongkan menjadi Qoul Qodim dan Qoul Jadid. Salah satu murid Imam Syafi’i adalah Ahmad bin Hanbal pendiri aliran Hanbaliyah. Disamping itu masih ada aliran zhahiriyah yang didirikan oleh Imam Daud Al-Zhahiri dan aliran Jaririyah yang didirikan oleh Ibnu Jarir Al-Thabari.
Aliran Syafi’iyyah dan Mutakallimin
Aliran ini membangun ushul fiqih mereka secara teoritis, tanpa
terpengaruh oleh masalah-masalah furu’ (masalah keagamaan yang tidak pokok).
Dalam membangun teori, aliran ini menetapkan kaidah-kaidah dengan alasan yang
kuat, baik dari naqli (al-Qur’an dan atau Sunnah) maupun dari ‘aqli (akal
pikiran), tanpa dipengaruhi oleh masalah-masalah furu’ dari berbagai mazhab,
sehingga teori tersebut adakalanya sesuai dengan furu’ dan ada
kalanya tidak. Setiap permasalahan yang diterima akal dan didukung oleh dalil
naqli, dapat dijadikan kaidah, baik kaidah itu sejalan dengan furu’ mazhab
maupun tidak, sejalan dengan kaidah yang telah ditetapkan imam mazhab atau
tidak.
Dalam kenyataannya, ada
ulama mazhab Syafi’iyyah yang berupaya menyusun teori tersendiri, sehingga
terdapat pertentangan dengan teori yang telah dibangun. Misalnya, Imam al-Amidi
(ahli ushul fiqh Syafi’i), menyatakan bahwa ijma’ al-Sukuti dapat dijadikan
hujjah dalam menetapkan hukum Islam. Imam al-Syafi’i sendiri tidak mengakui
keabsahan ijma’ sukuti sebagai hujjah, karena ijma’ yang dia terima hanyalah
ijma’ para sahabat secara jelas. Imam al-Amidi dan Imam al-Qarafi (ahli ushul
fiqh Maliki), berupaya menggabungkan teori aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin
dengan aliran yang lain. Hal ini mereka lakukan untuk mencari jalan terbaik
dalam masalah ushul fiqh. Oleh sebab itu, ada beberapa teori ushul fiqh mereka
yang bertentangan dengan pendapat mazhab mereka sendiri, seperti yang
dikemukakan al-Amidi di atas.
Akibat dari perhatian yang hanya tertuju
kepada masalah-masalah teoritis, teori yang dibangun aliran
Syafi’iyyah/Mutakallimin sering tidak membawa pengaruh pada keperluan praktis.
Sesuai dengan namanya, aliran mutakallimin (ahli kalam), maka aspek-aspek
bahasa sangat dominan dalam pembahasan ushul fiqh mereka. Misalnya, masalah
tahsm (menganggap sesuatu perbuatan itu baik dan dapat dicapai oleh akal atau
tidak) dan taqbih (menganggap sesuatu itu buruk dan dapat dicapai oleh akal
atau tidak). Pembahasan seperti ini, biasanya dikemukakan para ahli ushul fiqh
berkaitan dengan pembahasan hakim (pembuat hukum). Kedua konsep ini berkaitan
erat dengan masalah ilmu kalam yang juga berpengaruh dalam penentuan teori
ushul fiqih.
Aliran
mutakallimin mengembangkan gagasan-gagasan yang telah ada dalam kitab al-Risalah
karya al-Syafi’i dengan berbagai penjelasan dan materi tambahan. Aliran ini
banyak diikuti oleh para ulama dan menjadi aliran utama dalam ushul fiqh,
serta bersifat lintas madzhab.
Karya-karya
aliran Syafi’iyah dan Mutakalimin
Semua
pemikirannya itu dapat dilihat dari hasil karya, berikut ini adalah kitab
standar dalam aliran Syafi’iyah & Mutakalimin, diantaranya sebagai berikut:
1. Kitab al-Risalah yang
disusun Imam al-Syafi’i.
2. Kitab
al-Mu’tamad, disusun Abu al-Husain
Muhammad ibn All al-Bashri (wafat 463 H).
3. kitab
al-Burhanfi Ushul al-Fiqih, disusun Imam al-Haramain al-Juvaini (wafat 487 H),
4. Tiga rangkaian
kitab ushul fiqih Imam Abu
Hamid al-Ghazali (450-505 H/1085-1111 H), yaitu al-Mankhul min Ta’liqat
al-Ushul, Syifa’ al-Ghalil Fil Bayan al-Syabah wal Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, dan
al-Mustashfa fi ’Ilm al-Ushul.
Sekalipun kitab
ushul fiqih dalam aliran
Syafi'iyyah
dan Mutakallimin cukup banyak, tetapi yang menjadi sumber dan standar dalam
aliran ini adalah kitab ushul fiqih tersebut di atas.
Sebutan
mutakallimin adalah sesuai dengan karakteristik penulisannya. Kaum mutakallimin
adalah orang-orang yang banyak bergulat dengan pembahasan teologis dan banyak
memanfaatkan pemikiran deduktif, termasuk logika Yunani. Orang-orang seperti
Qadli Abdul Jabbar adalah seorang teolog Mu’tazilah. Imam Abu al-Husayn
al-Bashri pun termasuk dalam aliran Mu’tazilah. Sementara itu, Imam Abu Bakar
al-Baqillani, yang menulis buku al-Taqrib wa al-Irsyad dan diringkas
oleh Imam al-Juwayni, dipandang sebagai Syaikh al-Ushuliyyin. Imam
al-Juwayni sendiri, Imam al-Ghazali, dan Fakhruddin al-Razi adalah di antara
tokoh-tokoh besar Asy’ariyyah penulis ushul fiqh. Ada pula penulis yang
tidak menunjukkan kejelasan afiliasi teologis, tetapi menulis dengan pola mutakallimin,
seperti Imam Abu Ishaq al-Syirazi.
Ciri-ciri
aliran mutakallimun
Ada
beberapa ciri khas penulisan ushul fiqih aliran Mutakallimin,
antara lain :
1. Penggunaan deduksi di dalamnya. Ushul
fiqh mutakallimin membahas kaidah-kaidah, baik disertai contoh maupun
tidak. Kaidah-kaidah itulah yang menjadi pilar untuk pengambilan hukum. Jadi,
kaidah dibuat dahulu sebelum digunakan dalam istimbath. Kaidah-kaidah
tersebut utamanya berisi kaidah kebahasaan.
2. Adanya pembahasan mengenai teori
kalam dan teori pengetahuan, seperti terdapat dalam al-Luma karya
al-Syirazi dan al-Ihkam karya al-Amidi. Teori kalam yang sering dibahas
adalah tentang tahsin dan taqbih. Sementara itu, dalam pembahasan
mengenai teori pengetahuan tersebut, dimasukkan pengertian ilmu dan terkadang
dimasukkan pula muqaddimah mantiqiyyah (pengantar logika), sebagaimana
terdapat dalam al-Mustashfa karya al-Ghazali, Rawdlah al-Nadzir
karya Ibnu Qudamah, dan Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Ibnu Hajib.
Aliran Fuqaha’
Aliran ini dianut ulama-ulama mazhab Hanafi. Dinamakan aliran
fuqaha’, karena aliran ini dalam membangun teori ushul fiqhnya banyak
dipengaruhi oleh masalah furu’ dalam mazhab mereka. Artinya, mereka tidak
membangun suatu teori kecuali setelah melakukan analisis terhadap
masalah-masalah furu’ yang ada dalam mazhab mereka. Dalam menetapkan teori
tersebut, apabila terdapat pertentangan antara kaidah yang ada dengan hukum
furu’, maka kaidah tersebut diubah dan disesuaikan dengan hukum furu’ tersebut.
Oleh sebab itu, aliran ini berupaya agar kaidah yang mereka susun sesuai dengan
hukum-hukum furu’ yang berlaku dalam mazhabnya, sehingga tidak satu kaidah pun
yang tidak bisa diterapkan.
Berbeda dengan aliran Syafi’iyyah/Mutakallimin yang sama sekali
tidak terpengaruh oleh furu’ yang ada dalam mazhabnya, sehingga sering terjadi
pertentangan kaidah dengan hukum furu’ dan terkadang kaidah yang dibangun sulit
untuk diterapkan. Apabila suatu kaidah bertentangan dengan furu’, maka mereka
berusaha untuk mengubati kaidah tersebut dan membangun kaidah lain yang sesuai
dengan masalah furu’ yang mereka hadapi. Misalnya, mereka menetapkan kaidah
bahwa “dalil yang umum itu bersifat qath’i (pasti)”. Akibatnya, apabila terjadi
pertentangan dalil umum dengan hadhsahod (bersifat zhanni), maka dalil yang
umum itu yang diterapkan, karena hadits ahad hanya bersifat zhanni
(relatif), sedangkan dalil umum tersebut bersifat qath’i, yang qath’i tidak
bisa dikalahkan dan dikhususkan oleh yang zhanni.
Di kalangan aliran fuqaha’ sendiri ada ahli ushul fiqih yang
berupaya untuk mengkompromikan kedua aliran tersebut, di antaranya adalah Imam
Kamal ibn al-Humam dalam kitab ushul fiqhnya, al-Tahnr. Dari sekian banyak
kitab ushul fiqh, yang dianggap sebagai kitab ushul fiqh standar dalam aliran
ini adalah Kitab al-Ushul yang disusun Imam Abu al-Hasan al-Karkhi, Kitab
al-Ushul, disusun Abu Bakr al-Jashshash, Ushul al-Sarakhsi, disusun Imam
al-Sarakhsi, Ta'sis al-Nazhar, disusun Imam Abu Zaid al-Dabusi (wafat 430 H),
dan kitab Kasyfal-Asrar, disusun Imam al-Bazdawi.
Karya-karya
aliran hanafiyah
Karya
ushul fiqh di kalangan Hanafi cukup banyak dikenal dan dirujuk.
Kitab-kitab ushul fiqh yang khas menunjukkan metode Hanafiyah
antara lain :
1. al-Fushul fi Ushul Fiqh karya Imam Abu Bakar al-Jashshash (Ushul
al-Jashshash) sebagai pengantar Ahkam al-Quran.
2. Taqwim al-Adillah karya Imam Abu Zayd al-Dabbusi
3. Kanz al-Wushul ila Ma’rifat al-Ushul
karya
Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
4. Ushul Fiqh karya Imam al-Sarakhsi (Ushul
al-Syarakhsi)
Ciri-ciri
aliran hanafiyah
Adapun
Ciri khas penulisan madzhab Hanafi dalam mengarang kitab ushul adalah sebagai
berikut :
1. Persoalan-persoalan hukum yang furu
yang dibahas oleh para imam mereka, lalu membuat kesimpulan metodologis
berdasarkan pemecahan hukum furu tersebut. Jadi, kaidah-kaidah dibuat
secara induktif dari kasus-kasus hukum.
2. Kaidah-kaidah yang sudah dibuat bisa
berubah dengan munculnya kasus-kasus hukum yang menuntut pemecahan hukum yang
lain.
3. Ushul fiqh Hanafi dipenuhi dengan persoalan
hukum yang nyata.
Aliran
Gabungan
Pada
perkembangannya muncul trend untuk menggabungkan kitab ushul fiqh aliran mutakallimin
dan Hanafiyah. Metode penulisan ushul fiqih aliran gabungan adalah
dengan membumikan kaidah ke dalam realitas persoalan-persoalan fiqih.
Persoalan hukum yang dibahas imam-imam madzhab diulas dan ditunjukkan
kaidah yang menjadi sandarannya.
Karya
karya aliran gabungan
Karya-karya
gabungan lahir dari kalangan Hanafi dan kemudian diikuti kalangan
Syafi’iyyah.diantaranya adalah, sebagai berikut :
1. Dari kalangan Hanafi lahir kitab Badi’
al-Nidzam al-jami‘ bayn Kitabay al-Bazdawi wa al-Ihkam yang merupakan
gabungan antara kitab Ushul karya al-Bazdawi dan al-Ihkam karya
al-Amidi. Kitab tersebut ditulis oleh Mudzaffar al-Din Ahmad bin Ali al-Hanafi.
2. Ada pula kitab Tanqih Ushul karya
Shadr al-Syariah al-Hanafi. Kitab tersebut adalah ringkasan dari Kitab al-Mahshul
karya Imam al-Razi, Muntaha al-Wushul (al-Sul) karya Imam Ibnu Hajib,
dan Ushul al-Bazdawi. Kitab tersebut ia syarah sendiri dengan judul
karya Shadr al-Syari’ah al-Hanafi.
3. Kemudian lahir kitab Syarh
al-Tawdlih karya Sa’d al-Din al-Taftazani al-Syafii dan Jam’ al-Jawami’
karya Taj al-Din al-Subki al-Syafi’i.
Dengan
demikian dapat diambil pemahaman bahwa perkembangan ilmu Usūl Fiqh di
abad VII H masih berkisar pada meringkas dan mensyarahi kitab-kitab sebelum.
Akan tetapi setelah memasuki abad XIV H, ilmu ini dapat dikembangkan dalam
bentuk baru dengan cara memperbandingkan antara Usūl fiqh madzhab
yang telah berkembang dan kemudian disusunnya lebih sistimatis, sehingga mudah
dipahami, seperti kitab yang dikarang oleh Abu Zahroh, Muhammad Khudlari Bek,
Abdul Wahhab Khalaf dan lainnya.
Perbedaan
Aliran Muatkallimin dengan Aliran Fuqaha
Untuk
mengetahui lebih jelas dan mengenai
perbedaan aliran mutakallimin dengan aliran fuqaha, dapat dikaji melalui
perbandingan yang dapat dilihat pada tiga hal :
1. Formulasi kaidah (al-Ta’sis) Dalam
memformulasikan kaidah ushul, mutakallimin berpegang pada pemahaman ushlub bahasa, dalil-dalil syara’ dan dalil akal.Sedangkan golongan
fuqaha kaidah ushulnya, diangkat dari
fatwa-fatwa ulama dengan jalan mengaitkan antara masalah-masalah furu’ dengan kaidah-kaidah ushulnya
2. Metodologi (al-Manhaj) Dari
segi metode aliran mutakallimin mempergunakan metode teoritis deduktif, dimana
teori itu dijadikanistinbsth hukum.Sementara itu, metode aliran fuqaha adalah
metode aliran praktis (amali) yang berasal dari hasil penelitian hukum-hukum
furu.Dengan demikia, jelaslah perbedaan antara dua aliran ini.Sebab, ushul
mutkallimin adalah merupakan aturan-aturan istinbath (qawanin istinbath) yang
bersifat menetapkan, sedangkan ushul fiqih fuqaha bersifat ditetapkan oleh
furu’, bukan menetapkan furu’
3. Aspek Pemikiran (al-Tafkir)
Aliran mutakallimin, dalam sistematika pembahasannya, memulai pembahasan
yang bersifat kebahasaan, kemudian pembahasaan yang berhubungan dengan ilmu
manthiq.Terakhir, pembahasaan yang berhubungan dengan dalil-dalil
syara’.Sistematika semacam ini telah ditempuh oleh Al-Ghazali. Sedangkan aliran
fuqaha memulai dengan mengungkapkan
dalil-dalil syara’, cara mengeluarkan hukum dari dalil-dalinya (thuruq al-istismar), pemahaman tentang persyaratan ijtihad dan terakhir tentang kedudukan mujtahid dalam ijtihad manusia. Cara ini
ditempuh oleh Fakhr al-Islam al-Bazdawi.
Dengan demikian, kita telah mengenal
sejumlah aliran hukum islam yaitu Madrasah Madinah, Madrasah Kuffah, Aliran
Hanafi, Aliran Maliki, Aliran Syafi’I, Aliran Hanbali, Aliran Zhahiriyah dan
Aliran Jaririyah. Tidak dapat informasi yang lengkap mengenai aliran-aliran
hukum islam karena banyak aliran hukum yang muncul kemudian menghilang karena
tidak ada yang mengembangkannya[3].
Thaha Jabir Fayadl Al-Ulwani
menjelaskan bahwa mazdhab fiqih islam yang muncul setelah sahabat dan kibar
At-Tabi’in berjumlah 13 aliran, akan tetapi tidak semua aliran itu dapat
diketahui dasar dan metode istinbath hukum yang digunakannya. Berikut pendiri
aliran-aliran tersebut :
1. Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar Al-Bashri
2. Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi
3. Al-Uza’i ‘Abu Amr A’bd Al-Rahmat bin ‘Amr bin Muhammad
4. Sufyan bin Sa’id bin Masruq Al-Tsauri
5. Al-Laits bin Sa’d
6. Malik bin Anas Al-Bahi
7. Sufyan bin U’yainah
8. Muhammad bin Idris
9. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
10. Daud bin Ali Al-Ashbahani Al-Baghdadi
11. Ishaq bin Rahawaih
12. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalabi
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku sejarah hukum islam cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang berafiliasi dengan aliran sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan syi’ah dalam bidang hukum islam.
1. Abu Sa’id Al-Hasan bin Yasar Al-Bashri
2. Abu Hanifah Al-Nu’man bin Tsabit bin Zuthi
3. Al-Uza’i ‘Abu Amr A’bd Al-Rahmat bin ‘Amr bin Muhammad
4. Sufyan bin Sa’id bin Masruq Al-Tsauri
5. Al-Laits bin Sa’d
6. Malik bin Anas Al-Bahi
7. Sufyan bin U’yainah
8. Muhammad bin Idris
9. Ahmad bin Muhammad bin Hanbal
10. Daud bin Ali Al-Ashbahani Al-Baghdadi
11. Ishaq bin Rahawaih
12. Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid Al-Kalabi
Aliran hukum islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang hanya beberapa aliran diantaranya Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah, dan Hanbaliyah, akan tetapi yang sering dilupakan dalam sejarah hukum islam adalah bahwa buku-buku sejarah hukum islam cenderung memunculkan aliran-aliran hukum yang berafiliasi dengan aliran sunni, sehingga para penulis sejarah hukum islam cenderung mengabaikan pendapat khawarij dan syi’ah dalam bidang hukum islam.
3.
ALIRAN TASAWUF
A. Pengertian Tasawuf
Dari segi kebahasaan (linguistik)
terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubungkan orang dengan tasawuf.
Harun Nasution misalnya menyebutkan lima istilah yang berhubungan dengan tasawuf,
yaitu al-suffah (ahl al-suffah) yaitu orang yang ikut pindah dengan Nabi
dari Makkah ke Madinah, saf yaitu barisan yang dijumpai dalam
melaksanakan shalat berjama’ah, sufi yaitu bersih dan suci, sophos
(bahasa Yunani:hikmah), dan suf (kain wol kasar)[4].
Jika diperhatikan secara saksama, tampak kelima istilah
tersebut bertemakan tentang sifat-sifat dan keadaan yang terpuji, sederhana dan
kedekatan dengan Tuhan. Kata ahl al-suffah misalnya menggambarkan
keadaan orang yang mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lainnya hanya
untuk Allah. Mereka rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan,
harta benda dan sebagainya yang ada di Makkah untuk ditinggalkan karena ikut
hijrah bersama Nabi ke Madinah. Tanpa ada unsur iman dan keinginan untuk
mendekatkan diri kepada Allah, tidaklah mungkin hal demikian mereka lakukan.
Selanjutnya kata saf juga menggambarkan keadaan orang
yang selalu berada di barisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan
amal kebajikan lainnya. Demikian pula kata sufi yang berarti bersih,
suci dan murni menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari
perbuatan dosa yang dilarang oleh Allah dan Rasul-Nya.
Selanjutnya kata suf yang berarti kain wol yang kasar
menggambarkan orang yang hidupnya serba sederhana, tidak mengutamakan
kepentingan dunia, tidak mau diperbudak oleh harta yang menjerumuskan dirinya
dan membawa ia lupa akan tujuan hidupnya, yakni beribadah kepada Allah.
Demikian pula kata sophos yang berarti hikmah juga menggambarkan keadaan
orang yang jiwanya senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dengan demikian dari segi kebahasan tasawuf menggambarkan
keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa, mengutamakan kebenaran
dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia disisi Allah. Sikap
demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh, memiliki daya tangkal
yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang menyesatkan.
Tasawuf
dari segi istilah terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk
mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai
makhluk terbatas; kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang
harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk
bertuhan.
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang
terbatas, tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya menyucikan diri dengan cara
menjauhkan pengaruh kehidupan dunia dan memusatkan perhatian hanya kepada
Allah. Selanjutnya, jika sudut pandang yang digunakan adalah pandangan bahwa
manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, tasawuf dapat didefinisikan
sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber pada ajaran agama
dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dan jika sudut pandang yang
digunakan adalah manusia sebagai makhluk bertuhan, tasawuf dapat didefinisikan
sebagai kesadaran fitrah (perasaan percaya kepada Tuhan) yang dapat mengarahkan
jiwa agar selalu tertuju kepada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan
manusia dengan Tuhan.
Jika ketiga definisi tasawuf tersebut satu dan lainnya
dihubungkan, segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa
dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan diri manusia dari pengaruh
kehidupan duniawi, selalu dekat dengan Allah, sehingga jiwanya bersih dan
memancarkan akhlak mulia. Tasawuf secara hakiki memasuki fungsinya dalam
mengingatkan kembali manusia siapa ia sebenarnya.
Tasawuf atau sufisme adalah salah satu dari jalan yang
diletakkan Tuhan di dalam lubuk Islam dalam rangka menunjukkan mungkinnya
pelaksaan kehidupan rohani bagi jutaan manusia yang sejati yang telah
berabad-abad mengikuti dan terus mengikuti agama yang diajarkan Al-Qur’an.
Macam –
Macam Aliran Tasawuf
Orang yang pertama memberikan perhatian kepada
tumbuhnya aliran-aliran dalam tasawuf Islam itu adalah Fakhruddin Al Razi.
Secara garis besar, alam pemikiran tasawuf dalam Islam telah melahirkan tujuh
aliran besar. Ketujuh aliran itu adalah :
1.
Aliran Ittihad (bersatunya manusia dengan tuhan) Ittihâd berasal dari
kata ittahad-yattahid-ittihâd (dari kata wâhid) yang berarti bersatu atau
kebersatuan. Sedangkan ittihâd menurut Abû Yazîd al-Busthâmî secara
komprehensif maupun secara etimologis berarti integrasi, menyatu, atau
persatuan. Dan secara istilah, ittihâd merupakan pengalaman puncak spiritual
seorang sufi, ketika ia dekat, bersahabat, cinta, dan mengenal Allah sedemikian
rupa hingga dirinya merasa menyatu dengan Allah. Ittihâd dicapai dengan
beberapa proses (maqâmât) dengan tazkiyat al-nafs hingga melewati mahabbah dan
ma‘rifah kemudian mengalami fanâ’ dan baqâ’ sebagai pintu gerbang menuju
ittihâd. Dengan kata lain sebelum mengalami ittihâd para sufi harus mengalami
al-fanâ’ ‘an al-nafs dan al-baqâ’ bi Allâh. Fanâ’ secara etimologis berarti
keluruhan diri kemanusiaan, hancur, lenyap dan hilang. Sedangkan baqâ’ secara
etimologis berarti kekal, abadi, tetap dan tinggal.
Zun Nun Almisry (245 H) adalah sufi yang
pertama kalinya mengemukakan faham ma`rifah dalam tasawuf dan dalam
perkembangannya. Menurut Zun Nun, bahwa ma`rifah yang hakiki adalah ma`rifah
sifat wahdaniyyah yang bagi wali-wali Allah secara khusus karena mereka
menyaksikan Allah dengan hati mereka, maka terbukalah bagi mereka apa-apa yang
tidak terbuka bagi orang lainnya. Dan ma’rifat adalah proses akhir, dan justru menjadi awal
beragama secara sejati. Inilah makna dari perkataan yang masyhur dari salah
seorang sahabat Rasul Ali r.a.: “Awaluddiina Ma’rifatullah”. Awalnya Ad-Diin
adalah mengenal Allah. Makrifat justru baru awalnya beragama, bukan tujuan.
Karena dengan mengenal Dia yang sebenarnya, barulah seseorang berinteraksi dengan
Ad-Diin yang sebenarnya pula.
2.
Aliran Hulul (Inkarnasi)
Al-Hulul adalah kepercayaan bahwa Allah bersemayam di tubuh
salah seorang, yang kiranya bersedia untuk itu, karena kemurnian jiwanya dan
kesucian ruhnya. Di antara orang-orang yang menganut akidah dan kepercayaan ini
ialah Al-Hallaj. Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana. Menurut keterangan Abu Nasr al-Tusi dalam al-Luma'
sebagai dikutip Harun Nasution, adalah paham yang mengatakan bahwa Tuhan
memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk mengambil tempat di dalamnya setelah
kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu dilenyapkan. Di dalam teks Arab pernyataan
tersebut berbunyi: "Sesungguhnya Allah memilih jasad-jasad (tertentu)
dan me-nempatinya dengan makna ketuhanan (setelah) menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaan".
Paham bahwa Allah
dapat mengambil tempat pada manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran
al-Hallaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia terdapat dua sifat dasar
yaitu lahut (ketuhanan) dan nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari
teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya bernama al-thaiwasim.
Sebelum Tuhan
menjadikan makhluk, la hanya melihat diri-Nya sendiri. Dalam kesendian-Nya itu
terjadilah dialog antara Tuhan dengan diri-Nya sendiri, yaitu dialog yang
didalamnya tidak terdapat kata ataupun huruf.
Tokoh yang mengembangkan paham al- Hulul,
sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa tokoh yang mengembangkan paham
al-Hulul adalah al-Hallaj. Nama lengkapnya adalah Husein bin Mansur al-Hallaj.
la lahir tahun 244 H. (858 M.) di Negeri Baidha, salah satu kota kecil yang
terletak di Persia. Dia tinggal sampai dewasa di Wasith, dekat Baghdad, dan
dalam usia 16 tahun dia telah pergi belajar pada seorang Sufi yang terbesar dan
terkenal, bernama Sahl bin Abdullah al-Tustur di Negeri Ahwaz. Selanjutnya ia
berangkat ke Bashrah dan belajar pada seorang sufi bernama Amr al-Makki, dan
pada tahun 264 H. ia masuk kota Baghdad dan belajar pada. al-Junaid yang juga
seorang sufi. Selain itu ia pernah juga menunaikan ibadah haji di Mekkah selama
tiga kali. Dengan riwayat hidup yang singkat ini jelas bahwa ia memiliki dasair
pengetahuan tentang tasawuf yang cukup kuat dan mendalam.
Dalam perjalanan hidup
selanjutnya ia pernah keluar masuk penjara akibat konflik dengan ulama fikih.
Pandangan-pandangan tasawuf yang agak ganjil sebagaimana akan dikemukakan di
bawah ini menyebabkan seorang ulama fiqh bernama Ibn Daud al-Isfahani
mengeluarkan fatwa untuk membantah dan memberantas pahamnya. Al-lsfahani
dikenal sebagai ulama fikih penganut mazhab Zahiri, suatu mazhab yang hanya
mementingkan zahir Nas ayat belaka. Fatwa yang menyesatkan yang dikeluarkan
oleh Ibn Daud itu sangat besar pengaruhnya terhadap diri al-Hallaj, sehingga
al-Hallaj ditangkap dan dipenjarakan. Tetapi setelah satu tahun dalam penjara,
dia dapat meloloskan diri berkat bantuan seorang sifir penjara.
3.
Aliran Ittishal
Aliran tasawuf Ittishal dikemukakan oleh para filsuf Islam
terutama Al Farabi, Ibnu Sina, Ibnu Bajah, dan Ibnu Tufail.
Abu Nasr Muhammad Al-Farabi di dalam
mengemukakan konsepsinya tentang tasawuf, tidak terlepas dari keahliannya
sebagi filsuf. Tasawuf menurut Al-Farabi, bukan hanya membahas masalah amal
untuk kebersihan jiwa, memerangi hawa nafsu, dan kelezatan badaniyah saja,
tetapi juga harus melalui akal dan pemikiran itu sendiri.
Al-Farbi memandang tingkat ma`rifah manusia
dalam tasawuf adalah berjenjang naik dan apabila manusia telah berada diatas
jenjang Al-Aqlul Mustafad maka manusia mampu menerima nur ketuhanan,
berhubungan langsung dengan Al-Aqlul Fa`al.di tingkat ini manusia tidak lagi
berada dalam tingkat ijtihad tetapi telah berda dalam tingkat pemberian Tuhan
hingga dapat berhubungan langsung dengan Tuhan(Ittishal).
Al-Farabi mengemukakan bahwa sentral segal
sesuatu adalah akal, maka dalam tasawufnya ia berpendapat bahwa tujuan tasawuf
terkhir adalah pencapaian sa`dah yang tertinggi dalam wujud kesempurnaan
ittishal dengan Al Aqlu Fa`al. Perkembangan akal dan peningkatannya tidak bisa
lepas dari perkembangan jiwa, peningkatan dan pembersihannya.
4.
Aliran isyarq
Tokoh aliran Isyraq adalah Syihabuddin Yahya bin Hafash
Suhraward. Sejak kecil ia telah belajar agamadan menghafal Al-Qur`an kemudian
belajar di Maraghah berguru dengan Imam Mahyuddin Al Jilli, dilanjutkan dengan
belajar kepada Zahiruddin Al Qari di Asfahan, dan diteruskan dengan belajar
kepada Al Mardini.
Suhrawardi mendasarkan teori filsafatnya
kepada Isyraq. Kata Isyraq berasal dari bahasa Arab yang berarti timur. Secara
etimologi mengandung maksud terbitnya matahari dengan sinar yang terang.
5.
Aliran Ahlul Malamah
Kaum ini, setingkali disebut dengan
sebutan Malamatiyyah, Malamiyyah atau terkadang juga disebut sebagai Ahl
al-Malamah, yang pada dasarnya, memiliki pengaruh yang cukup besar dalam dunia
tasawuf.
Nama kaum ini, diambil dari kata malamah,
yang secara bahasa yang artinya “celaan”, malamah mengandung arti bahwa mereka
tidaklah menganggap pendapat orang dalam tingkah peribadatan mereka terhadap
Tuhan. Kaum Malamati adalah orang-orang suci yang dengan sengaja menjalani
kehidupan hina, dengan tujuan untuk menyembunyikan hakikat pencapaian spiritual
mereka. Aliran Ahlul Malamah lahir di Nishapor pada
bagian kedua abad ketiga hijriyah.Ahlul Malamah adalah sekumpulan orang yang
mencela dan merendahkan diri mereka karena itulah tempat kesalahan-kesalahan.
Ajaran kaum
malamatiyah ini pada dasarnya ialah mencela diri sendiri, merendahkan dan
menghinakannya didepan orang untuk melindungi keikhlasan dan kedekatan dirinya
dengan Tuhan, menjaga kemurnian ketulusan dan menjauhkan diri dari kesombongan.
Pendiri
kaum Malamatiyyah ini, adalah Hamdun al-Qashshar, sufi abad ke-3 H/9 M, yang
berasal dari Naisyapur di Khurasan. Kaum Malamatiyyah mengikuti teladan
dirinya, yaitu hidup secara batiniah dalam kebersatuannya dengan Allah,
sementara secara lahiriah, mereka bertindak seolah-olah terpisah dari Tuhan.
Dalam tasawuf, sikap pembawaan kaum Malamati ini merupakan sebuah watak
permanen dalam spiritualitas Islam, meskipun, banyak penyalahgunaan yang
dinisbatkan terhadap namanya, misalnya untuk mencampakkan syariat dan etika
atau adab tradisional.
Kaum
Malamatiyyah adalah guru serta pembimbing dan pemimpin manusia di jalan Tuhan.
Meskipun, tidak ada tindakan dari mereka yang tampak berbeda dari orang-orang
awam. Satu di antara mereka, adalah Muhammad, Rasul Allah, orang bijak yang
menempatkan segala sesuatunya di tempat yang seharusnya.
6. Aliran Wahdatul Wujud
(pantheisme)
Wahdat al-wujud adalah ungkapan
yang terdiri dari dua kata, yaitu wahdat dan al-wujud. Wahdat artinya sendiri,
tunggal atau kesatuan, sedangkan al-wujud artinya ada. Dengan demikian wahdat
al-wujud berarti kesatuan wujud. Kata wahdah selanjutnya digunakan untuk arti
yang bermacam-macam. Di kalangan ulama klasik ada yang mengartikan wahdah
sebagai sesuatu yang zatnya tidak dapat dibagi-bagi pada bagian yang lebih
kecil. Selain itu kata al-wahdah digunakan pula oleh para ahli filsafat dan
sufistik sebagai suatu kesatuan antara materi dan roh, substansi (hakikat) dan
forma (bentuk), antara yang tampak (lahir) dan yang batin, antara alam dan
Allah, karena alam dari segi hakikatnya qadim dan berasal dari Tuhan.
Pengertian wahdatul wujud yang terakhir itulah yang selanjutnya digunakan para
sufi, yaitu paham bahwa antara manusia dan Tuhan pada hakikatnya adalah satu
kesatuan wujud. Harun Nasution lebih lanjut menjelaskan paham ini dengan
mengatakan, bahwa dalam paham wahdat al-wujud, nast yang ada dalam hulul diubah
menjadi khalq (makhluk) dan lahut menjadi haqq (Tuhan). Khalq dan haqq adalah
dua bagian sesuatu. Aspek yang sebelah luar disebut Khalq dan yang sebelah
dalam disebut Haqq. Kata-kata khalq dan haqq inj; merupakan padanan kata
al-'Arad (accident) dan al-Jauhar (substance) dan al-Zahir (lahir-luar-tampak),
dan al-bathin (dalam, tidak tampak).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-Khalq (makhluk) Al'arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).
Menurut paham ini tiap-tiap yang ada mempunyai dua aspek, yaitu aspek luar yang disebut al-Khalq (makhluk) Al'arad (accident-kenyataan luar), zahir (luar-tampak), dan aspek dalam yang disebut al-haqq (Tuhan), al-jauhar (substance-hakikat), dan al-bathin (dalam).
Selanjutnya paham ini juga
mengambil pendirian bahwa dari kedua aspek tersebut yang sebenarnya ada dan
yang terpenting adalah aspek batin atau al-haqq yang merupakan hakikat, essensi
atau substansi. Sedangkan aspek al-khalq, luar dan yang tampak merupakan
bayangan yang ada karena adanya aspek yang pertama (al'haqq). Paham ini
selanjutnya membawa kepada timbulnya paham bahwa antara makhluk (manusia) dan
al-haqq (Tuhan) sebenarya satu kesatuan dari wujud Tuhan, dan yang sebenarnya
ada adalah wujud Tuhan itu, sedangkan wujud makhluk hanya bayang atau foto copy
dari wujud Tuhan. Paham ini dibangun dari suatu dasar pemikiran bahwa Allah
sebagai diterangkan dalam al-hulul, ingin melihat diri-Nya di luar diri-Nya,
dan oleh karena itu dijadikan-Nya alam ini. Dengan demikian alam ini merupakan
cermin bagi Allah. Pada saat la ingin melihat diri-Nya, ia cukup dengan
melihat alam ini. Pada benda-benda yang ada di alam ini Tuhan dapat melihat
diri-Nya, karena pada benda-benda alam ini terdapat sifat-sifat Tuhan, dan dari
sinilah timbul paham kesatuan. Paham ini juga mengatakan bahwa yang ada di
alam ini kelihatannya banyak tetapi sebenarnya satu. Hal ini tak ubahnya
seperti orang yang melihat dirinya dalam beberapa cermin yang diletakkan di
sekelilingnya. Di dalam tiap cermin ia lihat dirinya kelihatan banyak, tetapi
sebenarnya dirinya hanya satu. Dalam Fushush al'Hikam sebagai dijelaskan oleh
al-Qashimi dan dikutip Harun Nasution, fama wahdatul wujud ini antara lain
terlihat dalam ungkapan: “Wajah sebenarnya satu, tetapi jika engkau perbanyak
cermin ia menjadi banyak”
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M. Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al'Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
Paham Wahdatul Wujud dibawa oleh Muhyiddin Ibn Arabi yang lahir di Murcia, Spanyol di tahun 1165. Setelah selesai studi di Seville, ia pindah ke Tunis di tahun 1145, dan di sana ia masuk aliran sufi. Di tahun 1202 M. ia pergi ke Mekkah dan meninggal di Damaskus di tahun 1240 M. Selain sebagai sufi, Ibn Arabi juga dikenal sebagai penulis yang produktif. Jumlah buku yang dikarangnya menurut perhitungan mencapai lebih dari 200, di antaranya ada yang hanya 10 halaman, tetapi ada pula yang merupakan ensiklopedia tentang sufisme seperti kitab Futuhah al'Makkah. Disamping buku ini, bukunya yang termasyhur ialah Fusus al-Hikam yang juga berisi tentang tasawuf.
Menurut Hamka, Ibn Arabi dapat disebut sebagai orang yang telah sampai pada puncak wahdatul wujud. Dia telah menegakkan pahamnya dengan berdasarkan renungan pikir dan filsafat dan zauq tasawuf. la menyajikan ajaran tasawufnya dengan bahasa yang agak berbelit-belit dengan tujuan untuk menghindari tuduhan, fitnah dan ancaman kaum awam sebagaimana dialami al-Hallaj.
7.
Aliran Ahlus Sunah
As-Sunnah
ialah jalan yang ditempuh atau cara pelaksanaan suatu amalan baik itu dalam
perkara kebaikan maupun perkara kejelekan. Maka As-Sunnah yang dimaksud dalam
istilah Ahlus Sunnah ialah jalan yang ditempuh dan dilaksanakan oleh Rasulullah
salallahu ‘alaihi wa sallam serta para shahabat beliau, dan pengertian Ahlus Sunnah
ialah orang-orang yang berupaya memahami dan mengamalkan As-Sunnah
An-Nabawiyyah serta menyebarkan dan membelanya. Menurut bahasa Arab
pengertiannya ialah dari kata Al-Jamu’ dengan arti mengumpulkan yang tercerai
berai.
Istilah ahlu sunnah yang paling tua pernah dicatat adalah
berasal dari kata-kata Ibnu Siiriin, seorang tabi'i yang hidup dizaman akhir
pemerintahan Muawiyah dan awal pemerintahan Yazid bin Muawiyah. Ibnu Siiriin
hidup pada tahun 33H-110H. Kata-kata ibnu siiriin itu diabadikan dalam Sahih
Muslim hadits nomor 27 sbb:
حَدَّثَنَا أَبُو جَعْفَرٍ مُحَمَّدُ بْنُ الصَّبَّاحِ حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ بْنُ زَكَرِيَّاءَ عَنْ عَاصِمٍ الأَحْوَلِ عَنِ ابْنِ سِيرِينَ قَالَ لَمْ يَكُونُوا يَسْأَلُونَ عَنِ الإِسْنَادِ فَلَمَّا وَقَعَتِ الْفِتْنَةُ قَالُوا سَمُّوا لَنَا رِجَالَكُمْ فَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ السُّنَّةِ فَيُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ وَيُنْظَرُ إِلَى أَهْلِ الْبِدَعِ فَلاَ يُؤْخَذُ حَدِيثُهُمْ.
Dahulu kami tidak bertanya soal sanad, namun ketika terjadi fitnah maka sebutkanlah pada kami rijal2 kamu dan lihatlah bila itu dari ahlu sunnah maka ambillah hadits mereka dan lihatlah bila dari ahli bid'ah maka janganlah kamu ambil hadits mereka.
Walaupun dari asal kata ahlu sunnah
di sini adalah orang yang mengikuti sunnah nabi, namun di balik itu bisa kita
lihat muatan politisnya. Zaman fitnah yang dikatakan ibnu siiriin tentulah apa
yang dia lihat dari pergolakan politik Muawiyah/Yazid melawan Ali ra. Sehingga
ahlu bid'ah yang dimaksud pastilah Syiah. Hal ini berarti bahwa istilah ahlu
sunnah pertama kali diperkenalkan bukan mengacu pada "yang mengikuti
sunnah nabi" - karena Syiah juga meriwayatkan hadits/sunnah nabi-
melainkan lebih sebagai istilah anti syiah/golongan yang berseberangan dengan
syiah, yaitu orang-orang yang berada di sisi muawiyah/yazid. Nampaknya
kata-kata Ibnu siiriin inilah yang dikemudian hari membuat dua golongan yang
asalnya merupakan golongan yang berbeda dalam orientasi politik berkembang
menjadi dua aliran dalam islam: ahlu sunnah dan syiah.
Dengan menempatkan pengertian yang proporsional sebagaimana
telah disebutkan di atas, tampak tasawuf tidak mengesankan keterbelakangan,
kemunduran, atau semacamnya, melainkan justru memperlihatkan ketangguhan jiwa
dalam menghadapi berbagai problema hidup yang senantiasa datang silih berganti.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Sejarah merekam bahwa Islam sebagai agama Universal justru
mendapat tantangan dari dirinya sendiri (Universalitas). Setiap pemeluk
islam jika melihat ke dalam keluasan aspek dan pembahasannya maka meniscayakan
beragamnya pendapat dan pandangan , tak ayalnya samudera tak bertepi, islam
berusaha untuk selalu “diarungi” sejauh dan sedalam mungkin. Maka dari itu,
kita melihat banyaknya kaum muslimin baik perorangan atau kelompok yang
senantiasa berusaha sekuat mungkin untuk menemukan hakikat ajarannya yang
Universal. Tak heran jika terjadi gesekan pandangan dan perbedaan pendapat yang
mengemuka. Namun, bagi kami justru hal ini merupakan anugerah yang memperkaya
khazanah keilmuan islam.
Perbedaan
yang terjadi pada ranah teologi, politik, tasawuf, hukum hingga bangunan
filsafat dan yang lainnya memberi warna dan corak tersendiri bagi dinamika
peradaban Islam. Dari pemaparan kami di atas, dapat pembaca bayangkan betapa
kayanya peradaban yang dibangun oleh Islam dan semua hal itu adalah buah hasil
dari pergesekan, perbedaan dan dialektika yang terjadi di sepanjang sejarah
islam.
Macam-Macam
Aliran Kalam
1. Khawarij
2. Murji’ah
3. Qadariah
4. Jabariah
5. Muktazilah
6. Ahlu sunnah wal jama’ah
7. Salafi
8. Aliran Al Asy’ariyah
Karya-karya
aliran Syafi’iyah dan Mutakalimin
Semua
pemikirannya itu dapat dilihat dari hasil karya, berikut ini adalah kitab
standar dalam aliran Syafi’iyah & Mutakalimin, diantaranya sebagai berikut:
1. Kitab al-Risalah yang
disusun Imam al-Syafi’i.
2. Kitab al-Mu’tamad, disusun Abu al-Husain Muhammad ibn All
al-Bashri (wafat 463 H).
3. kitab
al-Burhanfi Ushul al-Fiqih, disusun Imam al-Haramain al-Juvaini (wafat 487 H),
4. Tiga rangkaian
kitab ushul fiqih Imam Abu
Hamid al-Ghazali (450-505 H/1085-1111 H), yaitu al-Mankhul min Ta’liqat
al-Ushul, Syifa’ al-Ghalil Fil Bayan al-Syabah wal Mukhil wa Masalik al-Ta’lil, dan
al-Mustashfa fi ’Ilm al-Ushul.
tasawuf
menggambarkan keadaan yang selalu berorientasi kepada kesucian jiwa,
mengutamakan kebenaran dan rela berkorban demi tujuan-tujuan yang lebih mulia
disisi Allah. Sikap demikian pada akhirnya membawa seseorang berjiwa tangguh,
memiliki daya tangkal yang kuat dan efektif terhadap berbagai godaan hidup yang
menyesatkan.
Tasawuf
dari segi istilah terdapat tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk
mendefinisikan tasawuf. Pertama, sudut pandang manusia sebagai
makhluk terbatas; kedua, sudut pandang manusia sebagai makhluk yang
harus berjuang; dan ketiga, sudut pandang manusia sebagai makhluk
bertuhan.
Terlalu naif rasanya jika kami harus menyimpulkan (
menyempitkan ) keluasan khazanah yang dimiliki Islam. Namun, jika diizinkan
kami ingin memberi catatan akhir bagi pemaparan pembahasan kami bahwasanya jika
kita tarik ke kehidupan beragama kita saat ini, tentu kita seharusnya
meneladani semangat yang diwariskan oleh para penyambung keagungan pesan yang
terkandung dalam Islam.
B. SARAN
Semoga
Allah memberikan keberkahan terhadap makalah yang telah kami susun ini.
Tentunya kami juga berharap partisipasi dari para pemabaca untuk memberikan
keritikan dan saran demi perbaikan karya kami selanjutnya.
Mohon
maaf, jika makalah yang singkat ini didapati berbagai kesalahan baik dari segi
penulisan, referensi dan lainnya, kami mengharap kritik dan saran yang
membangun dari pembaca khususnya dari pihak pengajar (Dosen).
DAFTAR PUSTAKA
ü Buchori, Didin Saefuddin. 2005. Metodologi
Studi Islam. Bogor : Granada Sarana Pustaka
ü Farida. Studi Islam. 2012. Google :
Blokspot
ü M. Ali Hasan. 2000. Studi
Islam. Jakarta : Rajagrafindo Persada
ü Nata, Abuddin. 2004. Metodologi
Studi Islam. Jakarta : PT Rajagrafindo Persada
ü Ramadan, Tariq. 2003. Menjadi
Modern Bersama Islam. Jakarta : Terajau
ü Ilhamuddin
Nasution,Ilmu Kalam ditengah perkembangan kepercayaan dan peradaban manusia,(Medan,Duta
Azhar 2011)
ü Mun’im A.
Sirry,Sejarah
Fiqih Islam Sebuah Pengantar , Risalah Gusti:Surabaya, Cet.2,2006. Hal. 87
Tidak ada komentar:
Posting Komentar