BAB
1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Secara
keseluruhan Ilmu tassawuf bisa di kelompokkan menjadi dua, yakni tassawuf ilmi
atau nadhari, yaitu tassawuf yang bersifat teoritis, yang tercakup dalam bagian
ini ialah sejarah lahirnya tassawuf dan perkembangannya sehingga menjelma
manjadi ilmu yang berdiri sendiri, termasuk di dalamnya ialah teori-teori tassawuf
menurut bebagai tokoh tassawuf dan tokoh luar tassawuf yang berwujud ungkapan
sistematis dan filosofis.
Bagian
ke dua ialah Tassawuf Amali atau Tathbiqi, yaitu tassawuf terapan yakni ajaran
tassawuf yang praktis. Tidak hanya sebagai teori belaka. Namun menuntut adanya
pengamalan dalam rangka mencapai tujuan tassawuf. Orang yang menjalanakan
ajaran tassawuf ini akan mendapat keseimbangan dalam kehidupannya, antara materil
dan spiritual, dunia dan akhirat.
Sementara ada lagi
yang membagi tassawuf manjadi tiga macam bagian aliran tassawuf antaralain :
- Tassawuf Sunni
- Tassawuf Filsafati
- Tassawuf Syi'I
Perlu di maklumi
bahwa pembagian ini hanya sebatas dalam kajian akademik, ke tiganya tidak bisa
di pisahkan secara dichotomik, sebab dalam prakteknya ke tiganya tidak dapat di
pisahkan satu sama lain. Selanjutnya untuk mengkaji masing-masing bagian tassawuf
tadi, berikut ini akan di uraikan satu persatu.
B.
RUMUSAN MASALAH
Rumusan
masalah pada makalah ditunjukan untuk merumuskan permasalahan yang akan dibahas
pada pembahasan dalam makalah. Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam
makalah ini, sebagai berikut :
- Apa itu tassawuf sunni
- Apa itu tassawuf filsafati
- Apa itu tassawuf syi’i
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan
penulisan dalam makalah ditujukan untuk mencari tujuan dari dibahasnya
pembahasan atas rumusan masalah dalam makalah ini. Adapun tujuan penulisan
makalah, sebagai berikut :
1. Menjabarkan tentang tassawuf sunni.
2. Menjelaskan tentang tassawuf filsafati.
3. Menerangkan tentang tassawuf syi’i.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
TUJUAN TASSAWUF
Secara
umum tujuan tasawuf adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Akan
tetapi apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, ada tiga sasaran
dari tasawuf, yaitu:
a) Tasawuf bertujuan untuk pembinaan
aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang
berkeseimbangan, penguasaan dan pengendalian hawa nafsu sehingga manusia
konsisten dan komitmen hanya pada keluhuran moral.
b) Tasawuf bertujuan untuk
ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-hijab
c) Tasawuf bertujuan untuk membahas bagaiman
system pengenalan dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis,
pengkajian garis hubungan antara tuhan dengan makhluk, terutama hubungan
manusia dengan tuhan dan apa arti dekat dengan tuhan.
Akan tetapi, tujuan akhir dari
sufisme adalah etika murni atau psikologi murni, dan keduanya secara
bersamaan,yaitu:
a) Penyerahan diri sepenuhnya kepada
kehendak mutlak tuhan, karena Dialah penggerak utama dari semua kejadian dialam
ini
b) Penanggalan secara total semua
keinginan pribadi dan melepas diri dari sifat-sifat jelek yang berkenaan dengan
kehidupan duniawi
c) Peniadaan kesadaran terhadap diri
sendiri serta pemusatan diri pada perenungan terhadap tuhan semata, tiada tuhan
yang di cari kecuali Dia
B.
TASSAWUF SUNNI
Tasawuf
sunni adalah ajaran tasawuf yang membahas tentang kesempurnaan dan kesucian
jiwa yang di formulasikan pada pengaturan sikap mental dan pendisiplinan
tingkah laku yang ketat guna mencapai kebahagian yang optimum, manusia harus
lebih dahulu mengidentifikasikan eksistensi dirinya dengan ciri-ciri ke tuhanan
melaui pensucian jiwa dan raga yang bermula dari pembentukan pribadi yang bermoral
dan berakhlak mulia yang berkonstrasi pada teori-teori perilaku, budi pekerti
atau perbaikan akhlaq. Dengan metode-metode tertentu yang telah dirumuskan,
tasawuf seperti ini berupaya untuk menghindari akhlaq mazmunah dan mewujudkan
akhlaq mahmudah.
Tasawuf
seperi ini dikembangkan oleh ulama’ lama sufi. Dalam pandangan para sufi
berpendapat bahwa untuk merehabilitasi sikap mental yang tidak baik diperlukan
terapi yang tidak hanya dari aspek lahiriyah. Oleh karena itu pada tahap-tahap
awal memasuki kehidupan tasawuf, seseorang diharuskan melakukan amalan dan
latihan kerohanian yang cukup berat tujuannya adalah mengusai hawa nafsu,
menekan hawa nafsu, sampai ke titik terendah dan bila mungkin mematikan hawa
nafsu sama sekali oleh karena itu dalam tasawuf sunni mempunyai tahap sistem
pembinaan akhlak disusun sebagai berikut :
1. Takhalli (pengosongan
diri dari sifat-sifat tercela) Takhalli berarti membersihkan
diri dari sifat-sifat tercela, kotoran, dan penyakit hati yang merusak. Langkah
pertama yang harus di tempuh adalah mengetahui dan menyadari, betapa buruknya
sifat-sifat tercela dan kotor tersebut, sehingga muncul kesadaran untuk
memberantas dan menghindarinya. Apabila hal ini bisa dilakukan dengan sukses,
maka seseorang akan memperoleh kebahagiaan. Allah berfirman : Asy-Syams: 9-10 Artinya:
“sesungguhnya beruntunglah orang yang membersihkan jiwa itu, dan sungguh
merugilah orang yang mengotorinya” (asy-syams: 9-10)
Adapun sifat-sifat tercela yang harus di hilangkan ialah
antara lain -Ghadab (
marah) -Syirik (penyekutuan
tuhan)
-Hasad (dengki) -Hirsh
(keinginan yang berlebih lebihan) -Ujub (bangga diri) -Riya dan Sum’ah (pamer) Untuk
menghilangkan sifat-sifat tersebut, dilakukan dengan cara : 1. Menghayati
segala bentuk akidah dan ibadah 2. Muhasabah (koreksi)
terhadap dirinya sendiri
3. Riyadlah (latihan) dan Mujahadah (perjuangan) 4. Mencari
waktu yang tepat untuk merubah sifat-sifat yang jelek-jelek itu 5. Memohon
pertolongan dari Allah swt
2.
Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) Tahalli yakni menghias diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama. Langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senantiasa konsisten dengan langkah yang di rintis sebelumnya (dalam bertkhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya, akan menghasilkan manusia yang sempurna (ihsan kamil). Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
Tahalli (menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji) Tahalli yakni menghias diri dengan perbuatan baik. Berusaha agar dalam setiap gerak dan perilakunya selalu berjalan di atas ketentuan agama. Langkahnya ialah membina pribadi, agar memiliki akhlak al-karimah, dan senantiasa konsisten dengan langkah yang di rintis sebelumnya (dalam bertkhalli). Melakukan latihan kejiwaan yang tangguh untuk membiasakan berprilaku baik, yang pada gilirannya, akan menghasilkan manusia yang sempurna (ihsan kamil). Tahapan tahalli dilakukan kaum sufi setelah mengosongkan jiwa dari akhlak-akhlak tercela. Dengan menjalankan ketentuan agama baik yang bersifat eksternal (luar) maupun internal (dalam). Yang disebut aspek luar adalah kewajiban-kewajiban yang bersifat formal seperti sholat, puasa, haji dll. Dan adapun yang bersifat dalam adalah seperti keimanan, ketaatan dan kecintaan kepada Tuhan.
3.
Tajalli (terungkapnya nur ghaib bagi hati yang telah bersih
seehingga mampu menangkap cahaya ketuhanan)
Untuk pemantapan dan pendalaman materi yang telah dilalui pada fase
tahalli, maka rangkaian pendidikan akhlak selanjutnya adalah fase tajalli. Kata
tajalli bermakna terungkapnya nur ghaib. Agar hasil yang telah diperoleh jiwa
dan organ-organ tubuh –yang telah terisi dengan butir-butir mutiara akhlak dan
sudah terbiasa melakukan perbuatan-perbuatan yang luhur- tidak berkurang, maka,
maka rasa ketuhanan perlu dihayati lebih lanjut. Kebiasaan yang dilakukan
dengan kesadaran optimum dan rasa kecintaan yang mendalam dengan sendirinya
akan menumbuhkan rasa rindu kepada-Nya.
Al-kalabadzi membagi tajalli menjadi tiga macam yaitu :
a.
Tajallidz Dzat, yaitu mukasyafah (terbukanya selubung yang
menutupi kerahasiaan-Nya).
b.
Tajallis Sifatidz Dzat, yakni nampaknya sifat-sifat Dzat-Nya
sebagai sumber atau tempat cahaya
c.
Tajalli Hukmudz Dzat, yaitu nampaknya hukum-hukum Dzat, atau
hal-hal yang berhubungan dengan akhirat dan apa yang ada di dalamnya
Pencapaian
tajalli tersebut melalui pendekatan melalui pendekatan rasa atau Dzauq dengan
alat al-Qalb. Qalb menurut shufi mempunyai kemempuan lebih bila dibandingkan
dengan akal. Yang kedua ini tidak bisa memperoleh pengetahuan yang sebenarnya
tentang Allah swt. Sedang al-Qalb bisa mengetahuinya. Apabila ia telah menembus
qalb dengan Nur-Nya, maka akan terlimpahkanlah kepada seseorang karunia dan
rahmat-Nya. Ketika itu Qalb menjadi terang-benderang, terangkatlah tabir
rahasia dengan karunianya rahmat itu, tatkala itu jelaslah segala hakikat
ketuhanan selama itu terhijab dan terahasiakan.
Apabila
seseorang telah mencapai tajalli, maka dia akan memperoleh ma’rifat, yaitu
mengetahui rahasia-rahasia ketuhanan dan peraturan-peraturan-Nya tentang segala
yang ada atau bisa di artikan lenyapnya segala sesuatu dengan ketika
menyaksikan Tuhan.
Ma’rifat
merupakan pemberian Tuhan, bukan usaha manusia. Ia merupakan ahwal tertinggi,
yang datangnya sesuai atau sejalan dengan ketekunan, kerajinan, kepatuhan, dan
ketaatan seseorang. Menurut Ibrahim
Basyuni, ma’rifat merupakan pencapaian tertinggi dan sebagai hasil akhir
dari segala pemberian setelah melakukan mujahadah dan riyadlah, dan bisa
dicapai ketika terpenuhinya qalb dengan Nur Ilahi.
Nur Ilahi itu akan diberikan kepada
seseorang yang telah terkendali hawa nafsunya, bahkan bisa dilenyapkan
sifat-sifat kemanusiaan (basyariyah) nya yang cenderung berbuat maksiat, dan
terlepasnya dari kecendrungan kepada masalah duniawiyah. Karena dosa dan cinta
kepadanya, akan menjadi penghalang qalb untuk melihat (ma’rifat) kepada-Nya.
Didalam
tassawuf sunni sendiri terdapat beberapa golongan tasawuf diantaranya :
1.
Tasawuf Qur’ani
Karena
tasawuf merupakan jalan menuju Allah,untuk mendekatkan diri kepada Allah,maka
rujukan pertama dan terutama yang harus dilihat adalah Alqur’an yang merupakan
surat cinta dari Allah untuk umat manusia. Dengan memahami nilai-nilai yang ada
dalam Alqur’an dan mengaplikasikannya dalam kehidupan maka di harapkan
seseorang itu akan lebih dekat dengan Allah. Tasawuf yang mengacu kepada
nilai-nilai alqur’an dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada Allah disebut
Tasawuf Qur’ani. Sahl at-Tusturi pernah
mengatakan: “Pokok ajaran kami adalah berpegang teguh kepada Al-Qur’an,
mengamalkan sunnah, makan makanan yang halal, mencegah menyakiti orang lain,
menjauhi yang tidak baik, bertaubat dan menunaikan hak-hak. Lalu Imam an-Nawawi
mengatakan: “Pokok ajaran tarikat tasawuf ada lima: bertakwa kepada Allah baik tersembunyi
ataupun terang-terangan, mengikuti sunnah baik perkataan ataupun perbuatan,
berpaling dari akhlak tercela dihadapan atau dibelakang, ridha terhadap
pemberian Allah sedikit ataupun banyak dan kembali ke jalan Allah dalam suka
dan duka. Imam Ahmad pun menasihati anaknya (Abdullah bin Ahmad): “Wahai anakku
wajib bagimu duduk bersama mereka, yaitu suatu kaum yang dapat memberikan
kepada kita banyaknya ilmu, taqarrub kepada Allah (murâqabah), timbulnya rasa
takut, hidup zuhud dan tingginya cita-cita, seraya beliau mengatakan: “Lâ
a’lamu aqwâman afdhalu minhum” (aku tidak tahu ada kaum yang lebih utama
daripada mereka).”
2.
Tasawuf akhlaqi Pada
mulanya tasawuf itu ditandai dengan ciri-ciri psikologis dan moral,yaitu
pembahasan analisis tentang jiwa manusia dalam upaya menciptakan moral yang
sempurna. Dalam pandangan sufi, Sikap mental dan perbuatan yang baik sangat
penting diisikan kedalam jiwa manusia akan dibiasakan dalam perbuatan dalam
rangka pembentukan manusia paripurna, antara lain sebagai berikut :
a. Taubat, yaitu rasa penyesalan
sungguh – sungguh dalam hati yang disertai permohonan ampun serta berusaha
meninggalkan perbuatan yang menimbulkan dosa
b. Cemas dan Harap (khauf dan raja’),
Yaitu perasaan yang timbul karena banyak berbuat salah dan seringkali lalai
kepada Allah
c. Zuhud, yaitu meninggalkan kehidupan
duniawi dan melepaskan diri dari pengaruh materi
d. Al-Faqr, yaitu sikap yang tidak
menuntut lebih banyak dari apa yang telah dipunyai dan merasa puas dengan apa
yang sudah dimiliki sehingga tidak meminta sesuatu yang lain
e. Al-Sabru, yaitu suatu keadaan jiwa
yang kokoh, stabil, dan konsekuen dalam pendirian
f. Ridha, yaitu menerima dengan lapang
dada dan hati terbuka terhadap apa saja yang datang dari Allah
g. Muraqabah, yaitu sikap siap setiap
saat untuk meneliti keadaan diri sendiri
h. Munajat,melaporkan diri kehadirat
Allah atas segala aktifitas yang dilakukan
i.
Zikrul maut,ingatan yang berkepanjangan tentang mati akan
memancing rasa keTuhanan yang semakin dalam
3.
Tasawuf salafi
Yang
dimaksud tasawuf salafi adalah tasawuf yang digagas oleh sekumpulan tokoh ulama
salaf seperti Ibnu Taimiyyah dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyyah. Corak
tasawuf ini menyerupai tasawuf sunni dalam segala urusannya, terutama dalam
pentingnya berpegang terhadap kitâbullah dan sunnah, serta dalam hal tercelanya
faham ittihad, hulul, wihdatul wujud, maqâmat dan ahwal.
Sebenarnya, istilah tasawuf salafi merupakan istilah pembelaan dari
kelompok shûfi yang ingin menegaskan bahwa tidak benar orang yang berpendapat
bahwa sumber tasawuf itu berasal dari luar Islam dengan mengedepankan Ibnu
Taimiyyah dan Ibnu Qayyim sebagai tokoh penggagasnya, sehubungan keduanya
merupakan tokoh puritanisme Islam. Hal ini dapat dilihat dari pembelaan Syaikh
Muhammad Zaki Ibrahim (pendiri dan syaikh tarikat al-‘Asyirah al-Muhammadiyah
al-Syadziliyyah dan komisi pembaruan sufi serta ikatan tarikat-tarikat yang ada
di Mesir). Menurutnya: “Dasar-dasar tasawuf terdapat dalam Al-Qur’an dan
sunnah. Hal ini tak dapat dipungkiri, bahkan oleh mereka yang agak minim tentang
Islam. Tak ada seorang pun dari kalangan Muslim yang mengatakan bahwa Al-Qur’an
adalah hasil kutipan dari kitab suci Budha, Majusi, dan Rahbaniyyah.
Pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf bersumber dari ajaran selain
Islam adalah sebuah pendapat yang sembrono, berlebih-lebihan dan penuh
kebohongan.Jika yang dimaksud dengan tasawuf adalah filsafat yang asing dari
akidah dan syari’at, maka hal tersebut memang benar, namum filsafat tersebut
tidak ada hubungannya dengan tasawuf Islami.Jika ada yang menjadikan mereka
(para ahli filsafat) sebagai dasar untuk menghujat dan menghukumi kesesatan
tasawuf dengan sebab kesesatan perilaku beberapa oknum yang mengatas namakan
tasawuf, maka hal tersebut merupakan sebuah pemutar balikan fakta yang
sebenarnya. Menghukumi seseorang atas kesalahan orang lain adalah satu
perbuatan yang tercela.”
4.
Tasawuf amali Yang
disebut tasawuf ‘amali adalah Keseluruhan rangkaian amalan lahiriah dan latihan
olah batiniah dalam usaha untuk mendekatkan diri kepada Allah,yaitu dengan
melakukan macam-macam amalan yang terbaik serta cara-cara beramal yang paling
sempurna. Menurut para sufi,ajaran agama itu mengandung dua aspek,lahiriah dan
bathiniyah. Secara rinci,kedua aspek tersebut dibagi kedalam empat bidang
sebagai berikut:
a. Syari’at,diartikan sebagai kualitas amalan lahir formal yang
ditetapkan dalam ajaran agama melalui Alqur’an dan Sunnah. Syari’at adalah
hukum-hukum formal atau amalan lahiriah yang berkaitan dengan anggota jasmaniah
manusia,sedangkan syari’at sebagai fiqih dan syari’at sebagai tasawuf tidak
dapat dipisahkan karena yang pertama adalah sebagai wadahnya dan yang kedua
sebagai isinya. Kerna itu ditegaskan, Seorang yang salih tidak mungkin
memperoleh ilmu batin tanpa mengamalkan secara sempurna amalan lahiriahnya
b. Thariqot,kalangan sufi mengartikan thariqat sebagai seperangkat
serial moral yang menjadi pegangan pengikut tasawuf dan dijadikan metoda
pengarahan jiwa dan moral
c. Hakikat,dalam dunia sufi hakikat diartikan sebagai aspek bathin dan
dari syari’at,sehingga dikatakan hakikat adalah aspek yang paling dalam dari
setiap amal,inti dan rahasia dari syariat yang merupakan tujuan perjalanan
suluk
d. Ma’rifat,berarti pengetahuan atau pengalaman. Dalam istilah
tasawuf,diartikan sebagai pengenalan langsung tentang Tuhan yang diperoleh
melalui hati sanubari sebagai hikmah langsung dari ilmu hakikat.
Ada pula pendapat yang menyatakan
bahwa Yang dimaksud tasawuf ‘amali, adalah pola tasawuf yang dilakukan para
penganut tarekat (ashhâbut turuq) seperti mengedepankan mujâhadah, menjauhkan
sifat tercela, memutuskan hubungan dengan yang lain dan menghadap Allah dengan
sepenuh cita-cita.
Dalam pelaksanaannya, ada beberapa
kaidah dan adab yang dirinci secara klasikal seperti hubungan murid dengan
gurunya, ‘uzlah, khalwat, al-jû’ (berlapar-lapar), as-sahr (bermalam-malam/
begadang), as-shumt (berdiam diri) dan dzikir.
C. TASSAWUF FALSAFI
Yaitu tasawuf yang ajaran-ajaranya memadukan
antara visi intuitif dan visi resional. Terminology filosofis yang digunakan
berasal dari bermacam-macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para
tokohnya, namun orisinalitasnya sebagai tasawuf tetap tidak hilang. Walaupun
demikian tasawuf filosofis tidak bisa di pandang sebagai filsafat, karena
ajaran daan metodenya di dasarkan pada dasar dzauq, dan tidak pula bisa di
kategorikan pada tasawuf (yang murni) karena sering di ungkapkan dengan bahasa
filsafat.
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang
ajaran-ajarannya memadukan antara visi mistis dan visi rasional.Tasawuf ini
menggunakan terminologi filosofis dalam pengungkapannya,yang berasal dari
berbagai macam ajaran filsafat yang telah mempengaruhi para tokohnya
Dalam upaya mengungkapkan pengalaman rohaninya,
para shufi falsafi sering menggunakan ungkapan-ungkapan yang samar, yang sering
di kenal dengan syathahiyyat, yaitu suatu ungkapan yang sulit difahami, yang
seringkali mengakibatkan kesalahpahaman pihak luar, dan menimbulkan tragedy.
Tokoh-tokohnya ialah Abu Yazid al-busthami, al-Hallaj, Ibn Arabi, dan
sebagainya.
Abu Yazid al-Busthami mempunyai teori al-Ittihad, yaitu suatu
tingkatan dalam tasawuf di mana seorang shufi telah merasa dirinya bersatu
dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana yang mencintai dan yang dicintai telah
menjadi satu, sehingga salah satu dari mereka dapat memanggil yang satu lagi
deengan kata-kata : “hai aku”. Dalam al-Ittihad identitas telah menjadi
satu. Salah satu
Syathiyat yang di ungkapan al-Busthami ialah :
1. “tiada tuhan
selain aku, maka sembahlah aku”.
2. “maha suci aku,
maha suci aku, alangkah agungnya keadaan-ku”.
3. “tidak ada
sesuatu dalam bajuku ini kecuali Allah”.
Tokoh lainnya ialah al-Hallaj dengan ajaran al-Hululnya, yaitu suatu faham yang
mengatakan bahwa tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu mengambil tempat
(hulul) di dalamnya, setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada dalam tubuh itu
dilenyapkan.
Menurut
al-Hallaj dalam diri manusia terdapat dua unsur, yakni unsur Nasut
(kemanusiaan), dan unsur Lahut (ketuhanan), karena itu persatuan antara tuhan
dan manusia bisa terjadi dan dengan persatuan itu mengambil bentuk hulul. Al-Hallaj juga
mengungkapkan syathahiyat sebagaimana di ungkapkan al-Busthami, seperti : “aku
adalah yang haq”. Karena ungkapannya yang di anggap menyimpang dari tauhid
inilah, dan tuduhan bekomplot dengan syi’ah Qaramithah, maka dia di jebloskan ke
dalam keputusan pengadilan fuqaha’ yang sepihak dan berkolusi dengan
pemerintahan al-Muqtadir Billah. Dia di jatuhi hukuman mati.
Teori Hulul ini di kembangkan labih jauh oleh Ibn Arabi dengan teori Wahdatul
Wujud. Dalam teori ini, Ibn Arabi merubah Nasut dalam hulul menjadi
al-Khaliq dan Lahut menjadi al-Haq. Kedua unsur tersebut pasti ada pada setiap
makhluk yang ada, sebagai aspek batin, Ibn Arabi mengungkapkan : “ maha suci
dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan dia adalah essensinya sendiri”.
Paham yang di
bawa oleh para shufi falsafi membawa pro dan kontra, karena perbedaan latar
belakang sudut tinjauan dan pisau analisianya. Dalam dunia tasawuf di kenal
istilah fana’ dan baqa’ sebagaimana telah di uraikan di depan. Ketika seseorang
telah mencapai keadaan demikian, seorang shufi telah mencapai puncak tujuan
yang di inginkannya, yakni ma’rifat dan hakikat, sehingga muncul kesadaran
bahwa al-ma’rifah (pengetahuan), al-Arif (orang yang mengetahui), dan al-Ma’ruf
(yang di ketahui/tuhan) adalah satu.
Orang yang telah mencapai ma’rifat, hatinya
bersih, dia akan merenungi sifat-sifat tuhan, bukan pada essensi-Nya, karena
dalam ma’rifat masih ada sia-sia kegandaan yang masih tertinggal. Sifat utama
Tuhan adalah ketuhanan dan kesatuan ilahi merupakan prinsip ma’rifat yang
pertama dan yang terakhir. Tuhan bagi shufi difahami sebagai Dzat yang esa yang
mendasari seluruh peristiwa. Prinsip ini membawa konsekuensi yang ekstrim.
Apabila tiada sesuatu yang mewujudkan selain Tuhan, maka seluruh alam pada
dasarnya adalah satu dengan-Nya, apakah ia di pandang emanasi yang berkembang
dari pada-Nya, tanpa mengganggu ke esaan-Nya, sebagaimana halnya bekas sinar
matahari atau apakah ia berlaku seperti cermin dengan mana sifat-sifat Allah
dipancarkan. Konsep inilah yang mendasari para shufi falsafi mempunyai
pandangan tersebut di atas. Dengan analisis seperti ini, maka hasil yang
diperoleh oleh para shufi falsafi sebagaimana telah di ungkapkan adalah sesuatu
yang wajar saja, dan suatu konsekuensi logis. Namun apabila didekati dengan
fiqih dan ilmu kalam, adalah jenis hal tersebut di anggap suatu yang
menyimpang, karena antara khalik dan makhluk, antara ‘abid dan ma’bud tidak
bisa di satukan.
D. TASSAWUF SYI’I
Diluar
dua aliran tasawuf akhlqi (sunni) dan tasawuf falsafi, ada juga yang memasukkan
tasawuf aliran ketiga, yaitu tasawuf syi’I atau syiah. Kaum syiah merupakan
golongan yang dinisbatkan kepada pengikut Ali bin Abi Thalib. Dalam sejarahnya,
setelah perang shiffin, orang – orang pendukung fanatik Ali memisahkan diri dan
banyak berdiam di daratan Persia, dan di Persia inilah kontak budaya antara
Islam dan Yunani telah berjalan sebelum dinasti Islam berkuasa disini. Oleh
karena itu, perkembangan tasawuf syi’I dapat di tinjau melalui kacamata
keterpengaruhan Persia oleh pemikiran – pemikiran filsafat Yunani. Ibnu Khaldun
dalam AL-Muqaddimah telah menyinggung soal kedekatan syi’ah dengan tasawuf,
Ibnu Khaldun melihat kedekatan tasawuf filosofis dengan sekte Isma’iliyyah dari
Syiah. Sekte ini menyatakan terjadinya hulul atau ketuhanan pada imam mereka.
Menurutnya kedua kelompok ini memiliki kesamaan, khususnya dalam persoalan
“quthb” dan “abdal”. Bagi para sufi filosof,quthb adalah puncaknya kaum
‘arifin, sedangkan abdal merupakan perwakilan. Ibnu Khaldun menyatakan doktrin
seperti ini mirip dengan doktrin Isma’iliyyah tentang imam dan para wakil.
Begitu juga dengan pakaian compang camping yang disebut – sebut berasal dari
imam Ali.
Paham
tasawuf syi’i beranggapan, bahwa manusia dapat meninggal dengan tuhannya karena
kesamaan esensi dengan Tuhannya karena ada kesamaan esensi antara keduanya.
Menurut ibnu Khaldun yang dikutip oleh Taftazani melihat kedekatan antara
tasawuf falsafi dan tasawuf syi’i. Syi’i memilki pandangan hulul atau ketuhanan
iman-iman mereka. Menurutnya dua kelompok itu mempunyai dua kesamaan.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Tiga macam aliran
tassawuf antaralain :
1. Tassawuf Sunni.
2. Tassawuf Filsafati.
3. Tassawuf Syi’I.
Tujuan
tasawuf adalah agar berada sedekat mungkin dengan Allah Swt. Akan tetapi
apabila diperhatikan karakteristik tasawuf secara umum, ada tiga sasaran dari
tasawuf, yaitu:
a)Tasawuf bertujuan untuk pembinaan
aspek moral. Aspek ini meliputi mewujudkan kestabilan jiwa yang
berkeseimbangan, penguasaan dan pengndalian hawa nafsu sehingga manusia
konsisten dan komitmen hanya pada keluhuran moral.
b) Tasawuf bertujuan untuk
ma’rifatullah melalui penyingkapan langsung atau metode al-kasyf al-hijab
c)
Tasawuf bertujuan untuk membahas bagaiman system pengenalan
dan pendekatan diri kepada Allah secara mistis filosofis, pengkajian garis
hubungan antara tuhan dengan makhluk, terutama hubungan manusia dengan tuhan
dan apa arti dekat dengan tuhan.
B. SARAN
Dengan kita
mengetahi pengertian dan macam-macam tasawuf kita sebaiknya kita lebih
mendekatkan diri kepada allah dan menjauhi segala sesuatu yang bersifat duniawi
dan lebih mengutamakan akhirat agar kita selamat dari siksa neraka.
DAFTAR
PUSTAKA
Ø Rosihan Anwar, akhlak
Tasawuf.CV.Pustaka Setia.2010.
Ø Ahmad jaiz. Hartono. Mendudukan
tasawuf. Buku Islam kafah.jakarta
Ø Ibrahim Hilal, Al-Tashawwuf
Al-Islami bain Ad-Din wa Al-Falsafah, Kairo: Dar An-Nahdhah Al0’Arabiyyah.
1979.
Ø Harun Nasution,
Filsafat dan Mistisme dalam Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.